Get me outta here!

Monday, January 6, 2020

MAKALAH SEJARAH PERBANKAN SYARIAH- LENGKAP-LENGKIP

BAB I 
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 
Salah satu kegiatan usaha yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya di dunia Ekonomi dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, leh karena itu fungsinya sebagai pengumpul dana yang sangat berperan demi penunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Sebagai alat penghimpun dana, lembaga keuangan ini mampu melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dana nya ke berbagai proyek penting di berbagai sector usaha yang dikelolah oleh pemerintah. 
Kegiatan yang diinspirasikan oleh sistem ekonomi kapitalis adalah dengan jalan menarik keuntungan usahanya terutama dari bunga kredit. Di dunia Internasional, para ahli ekonomi telah menyadari secara empiris bahwa bunga mengandung kemudharatan. Hal ini dikarenakan pengambilan keuntungan dengan tanpa memikul risiko sehingga terjadi berbagai krisis ekonomi. 

B. Rumusan Masalah 
1. Bagaimana sejarah perkembangan bank syariah pada zaman Rasulullah dan para Sahabat? 
2. Bagaimana perkembangan perbankan syariah di Eropa dan Dunia Modren? 
3. Bagaimana perkembangan syariah di Dunia Internasional? 
4. Bagaimana perkembangan syariah di Indonesia ? 
5. Bagaimana persyaratan berdirinya perbankan syariah ? 
6. Apa kebijakan pemerintah terhadap perbankan syariah ? 

C. Manfaat 
1. Mengetahui perkembangan perbankan syariah dari zaman Rasulullah dan para sahabat, di Eropa, dunia modern, di dunia Internasional hingga ke Indonesia. 
2. Mengetahui persyaratan berdirinya perbankan syariah. 
3. Mengetahui kebijakan kebijakan pemerintah terhadap perbankan syariah. 

BAB II 
PEMBAHASAN 

A. Sejarah Perbankan Syariah 
Bank sebagai lembaga keuangan pada awalnya hanya penitipan harta oleh para saudagar untuk menghindari adanya kejadian kehilangan, kecurian,ataupun bahkan perampokan selama proses perjalanan dari sebuah perdagangan. 
Pada zaman pra Islam sebenarnya telah ada bentuk bentuk perdagangan yang sekarang dikembangkan di dunia bisnis modern. Bentuk benuk itu misalnya : 
a. Musyarakah ( joint venture ) 
b. Ba’iu takjiri 9 ( here purchase ) 
c. Ijarah ( leasing ) 
d. Takaful ( insurance )
e. Ba’I bithaman ajil ( instalment sale ) 
f. Murabahah ( kredit pemilikan barang )
g. Riba. 

B. Tahapan Tahapan Perkembangan Bank Syariah 

1. Praktik Perbankan di Zaman Nabi SAW dan Sahabat
Perbankan adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang.
Didalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman Rasulullah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meninjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah.
Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja. Biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja

2. Praktik Pebankan di Zaman Bani Umayyah dan Bani Abasiah
Institusi ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, maupun Bani Abbasiyah.
Di jaman Rasulullah saw fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan, dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di jaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu. 
Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Hal ini merupakan cikal-bakal praktek penukaran mata uang (money changer). Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawiyah (661-680M) yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.
Peranan banker pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908-932M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai bankir sendiri. Misalnya, Ibnu Furat menunjuk Harun ibnu Imran dan Joseph ibnu wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi Isa menunjuk Ali ibn Isa, Hamid ibnuWahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang banker sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen. Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. 
Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya.
Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf al-Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol sekarang).

3. Praktik Perbankan di Eropa
Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan yang dilakukan oleh perorangan jihbiz kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini dikenal sebagai institusi bank.
Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktek perbankan, persoalan mulai timbul karena transaksi yang dilakukan menggunakan instrumen bunga yang dalam pandangan fikih adalah riba, dan oleh karenanya haram. Transaksi berbasis bunga ini semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545, membolehkan bunga (interest) meskipun tetap mengharamkan riba (usury) dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda (excessive). Ketika Raja Henry VIII wafat, ia digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang, ini tidak berlangsung lama. Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali membolehkan bunga uang.
Selanjutnya, bangsa Eropa mulai bangkit dari keterbelakangannya dan mengalami renaissance. Penjelajahan dan penjajahan mulai dilakukan ke seluruh penjuru dunia, sehingga kegiatan perekonomian dunia mulai didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Pada saat yang sama, peradaban muslim mengalami kemerosotan dan negara-negara muslim satu per satu jatuh ke dalam cengkeraman penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Akibatnya, institusi-institusi perekonomian umat muslim runtuh dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa Eropa. Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman modern kini. Karena itu, institusi perbankan yang ada sekarang di mayoritas negara-negara muslim merupakan warisan dari bangsa Eropa, yang notabennya berbasis bunga.




4. Perbankan Syariah Modern
a. Tahapan Pengembangan kerangka konseptual (1950-1975)
Pada periode ini banyak dilakukan seminar, diskusi dan kajian-kajian oleh para ekonom, bankir dan ahli hukum tentang permasalahan riba, moralitas ekonomi dan alternatif akad  & praktek perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.
b. Tahapan eksperimen (1975 – 1990)
Pada periode ini, muncul inisiatif terutama dari kalangan swasta untuk mempraktekkan konsep perbankan syariah, misalnya melalui pendirian : Dubai Islamic Bank dan Dar Al-Maal Al Islami di Emirat Arab (1975). Juga di Pakistan dan Iran dilaksanakan legalisasi sistem perbankan syariah secara nasional.
c. Tahapan penetrasi pasar & perluasan wilayah operasi (1990 – sekarang).
1) Keberhasilan dan stabilitas perkembangan bank-bank syariah telah menarik perhatian banyak pihak.
2) Sejumlah lembaga keuangan di negara-negara non muslim (misal: Inggris, Luxemburg & Swiss) juga mulai akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat dan investor yang menginginkan untuk melaksanakan transaksi- transaksi keuangan secara syariah sepanjang memenuhi ketentuan dari otoritas keuangan setempat.
3) Penetrasi pasar melalui perluasan jangkauan perkembangan lembaga keuangan syariah secara internasional antara lain ditunjukkan dengan meluasnya lokasi usaha lembaga keuangan syariah yang mencapai 34 negara, serta meluasnya lembaga keuangan internasional besar yang berbasis dan dimiliki non musim ke dalam bisnis jasa keuangan syariah seperti : 
a) Citybank           
b) HSBC Bank
c) Standard Chartered Bank 
d) Chase Manhattan. 

5. Perkembangan Perbankan Syari’ah Dunia Internasional 
Bank sebagai sebuah lembaga modern dan merupakan lembaga keuangan tertua pertama kali berdiri pada abad ke 14 di kota Venesia dan Genoa di Italia tepatnya pada tahun 1587 dengan nama Banco Della Pizza. Dari kedua kota ini berpindahlah sistem bank ke Eropa Barat. Kemudian disusul oleh Bank Of Barcelona pada tahun yang sama. Di Inggris, bank konvensional pertama kali  muncul adalah bank of England pada tahun 1694. 
Awal abad ke 20 merupakan masa kebangkitan dunia Islam dari “ketidurannya” di tengah pergolakan dunia. Kondisi ini membawa kesadaran baru untuk menerapkan prinsip dan nilai nilai syariah dalam kehidupan nyata. Salah satu upaya adalah dalam  penerapan lembaga keuangan syariah yang didasarkan pada prinsip prinsip Islam. Sudah tercatat sejak tahun 1940 an yaitu upaya pengelolaan dana jemaah haji secara nonkonvensioanal di Pakistan dan Malaysia. Rintisan berikutnya adalah Islamic Rural Bank di daerah Mit Ghamr yang didirikan oleh Egypt dan Central Bank Of Egyept. 
Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah di tingkat Internasioanl, muncul dalam konferensi negara negara Islam sedunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada April 1969, yang diikuti 19 negara peserta. Konferensi tersebut menghasilkan : 
a. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untunh dan rugi jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit banyak haram hukumnya. 
b. Diusulkann supaya dibentuk suatau bank syariah yang bersih dan sistem riba dalam waktu secepat mungkin. 
c. Sementara waktu menunggunya berdiri bank syariah, bank bank yang menerapkan bungan diperbolehkan beroperasi namun jika benar benar dalam keadaan darurat. 
Kemudian tonggak sejarah lainnya adalah dengan didirikannya IDB (Islamic Development Bank) yang didirikan di Jeddah, Arab Saudi. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak Negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank syariah. Kerja keras mereka membuahkan hasil, pada akhir periode 1970-an dan awal dekade 1980-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-negara teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki. Secara garis besar, lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukkan kedalam dua kategori. Pertama, bank Islam komersial (Islamic Commercial Bank). Kedua, lembaga Investasi dalam bentuk international holding companies.

Perkembangan beberapa bank Syariah di Dunia dari tahun 1963 sampai 1999 sebagai berikut : 
Tahun Jumlah Bank Islam Didirikan Nama Bank Islam
1963 1 The Mit Gharm Bank
1972 1 Nasser Sosial Bank, Cairo
1973 1 Philippine Amanah Bank
1975 2 Islamic Development Bank, Jeddah : Dubai Islamic Dubai, Dubai
1977 3 Faisal Islamic Bank, Egypt, Faisal Islamic Bank, Sudan, Kuwait Finance House, Kuwait
1978 2 Jordan Islamic Bank, Jordan; Islamic Finance House, Universitas Holding, Luxemburg
1979 2 Bahrain Islamic Bank,  Bahrain, Iran Islamic Bank
1980 1 Islamic Internasional Bank, Cairo
1981 4 Daar Al Mal Al Islami. Switzerland Islamic Finance House, England, Jorrdan Finance House, Jordan, Islamic Bank Of Investment House, Jordan
1982 3 Islamic Bank Baghladesh, Banghladesh Kibrish;Mislamic Investment House, Jordan
1983 10 Qatar Islamic Bank, Qatar, Tadamon Islamic Bank, Sudan; Faisal Islamic Bank, Bahrain; Bank Islam, Malaysia, Faisal Islamic Bank, Senegal; Islamic Bank Internasional, Denmark; Faisal Islamic Bank, Niger; Sudan Islamic Bank, Sudan; Bank Al Baraka Al Sudani, Sudan
1984 5 Al Baraka Bank, Bahrain; Oslamic Finance House, Jordan; Bait At Tamwil Al Saudi Al Tunisi; Al Baraaka Turkish Finance Institution, Turkey
1985 1 Al Baraka Islamic Bank, Muritania
1992 1 Bank Muamalat Indonesia
1999 2 Kc Ifi Syariah, Bank Syariah Mandiri

Bank-Bank yang masuk ketegori pertama diantaranya:
1 Faisal Islamic Bank (di Mesir dan Sudan)
2 Kuwait Finance House
3 Dubai Islamic Bank
4 Jordan Islamic Bank for finance and investment
5 Bahrain Islamic Bank
6 Islamic International Bank for Investment and Development (Mesir)
Adapun yang termasuk kategori kedua:
1. Daar al-Mall al-Islami (Jenewa)
2. Islamic Investment Company of the gulf
3. Islamic Investment Company (Bahama)
4. Islamic Investment Company (Sudan)
5. Bahrain Islamic Investment Bank (Manama)
6. Islamic Investment House (Amman). 

6.  Perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia
K.H Mas Mansur, ketua pengurus besar Muhammadiyah periode 1937-1944 telah menguraikan pendapatnya tentang penggunaan jasa bank konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakukan karena umat Islam belum mempunyai bank sendiri yang bebas riba. Kemudian disusul dengan ide untuk mendirikan bank syariah pada pertengahan tahun 1970-an dengan terlaksananya seminar Internasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi Ilmu Ilmu Kemasyarakatan  (LSIK) Dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika pada tahun 1976. 
Pelaksanaan berdirinya lembaga prinsip syariah dimulai dengan didirikannya Baitut Tamwil yang berstatus badan hukum koperasi pada tahun 1980-an. Pertama kali didirikan di Bandung pada tanggal 30 Desember 1980 dengan akta perubahan tanggal 21 Desember 1982. Kemudian di Jakarta didirikan Baitut Tamwil kedua dengan nama koperasi simpan pinjam Ridho Gusti yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1988. 
Setelah dikeluarkannya PAKTO ( Paket Kebijaksanaan Pemerintah bulan Oktober ) tahun 1988yang berisi tentang liberisasi perbankan yang memungkinkan bank bank baru didirikan. Dimulailah pendirian BPRS dan yang pertama kali memperoleh izin usaha yaitu Bank Perkreditan Rakyat Syariah Berkah Amal Sejahtera dan BPRS Dana Mardatillah tanggal 19 Agustus 1991 serta BPRS Amanah Rabaniah tanggal 24 Oktober 1991yang kegiatannya beroperasi di Bandung. Kemudian mendorong berdirinya Bank Umum Syariah di Indonesia yaaitu Bank Muamalat Indonesiabpada tanggal 1 Mei 1992. 
Di indonesia, bank syariah yang pertama kali didirikan adalah Bank Muamalat. Bank Muamalat Indonesia lahir sbagai kerja tim Perbankan MUI, akta pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada 1 November 1991. Pada saat itu terkumul komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84 miliar. Pada tanggal 3 novermber. Walaupun perkembangan nya agak terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, perkembangan perbankan syariah di Indonesia akan terus berkembang
Kemudian diikuti dengan kemunsulan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, dimana perbankan bagi hasil diakui. Dan UU No. 7 tahun 1992 inilah menjadi landasan perbankan syariah dalam menjalankan perannya dan menetapkan hak hak antara lain : 
a. Bahwa bank berdasrkan prinsip bagi hasil adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat yang dilakukan usaha semata mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
b. Prinsip bagi hasil dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasrkan syariah.
c. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil waji memiliki DPS ( Dewan Pengawas Syariah )
  Pendirian Bank Muamalat Indonesia ini diikuti oleh perkembangan bank-bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Namun demikian adanya 2 jenis bank tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat islam lapisan bawah. Oleh karna itu, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam disebut Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Pada tahun 1988 muncul UU No. 10 Tahun 1998tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang dapat disimpulkan dengan tujuan sebagai berikut : 
a. Memenuhi kebutuhanan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan ditetapkan nya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional (dual banking system), mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga.
b. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah investor yang harmonis (mutual investor reationship). Sementara dalam bank konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur-kreditur (debitur to cretor relationship).
c. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpectual interest effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif, pembiayaan ditujukan kepada usaha usaha yang lebih memerhatikan unsur moral.
d. Pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah, antara lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank konvensional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

7. Persyaratan Pendirian Perbankan Syariah
Pasal 16 UU No. 10 Tahun 1998menetapkan bahwa persyaratan dan tata cara pendirian bank syariah ditetapkan oleh bank Indonesia. Ketentuan yang lebih rici mengenai tata cara pendirian dan kegiatan usaha bank syariah dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk surat keputusan direksi Bank Indonesia yaitu SK Direksi BI No. 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syariah, SK Direksi BI No. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Kedua SK Direktur BI yang terakhir kini telah diganti Peraturan Bank Indonesia ( PBI ) No. 6/24/PBI/ 2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 
Pendirian Bank syariah dan Bank Syariah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ketentuan yang lebih rinci mengenai tata cara pendirian dan kegiatan bank syariah dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia.
Pendirian Bank Syariah baru untuk Bank Umum dan Bank Syariah ditentukan hrus memenuhi persyaratan pemilik, pengurus, modal persyaratan lainnya. Permohonan pendirian BANK umum dan Bank Syariah diajukan oleh pemilik bank dengan melalui dua tahap perizinan, yaitu izin prinsip dan izin usaha. 

8. Konversi Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah 
Mengenai konversi ini diatur dalam PBI No. 4/1/PBI/2002. Permohonan diajukan oleh direksi Bank Konvensional kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia. Pemberian izin konversi dilakukan dalam 2 tahap yaitu persetujuan prinsip dan dan izin perubahan kegiatan usaha. Persetujuan prinsip berlaku untuk jangka waktu 180 hari terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip itu dikeluarkan pada pasal 5. Setelah mendapat izin melakukan kegiatan selambat lambatnya 3-0 hari sejak tanggal izin dikeluarkan. Selain itu wajib mencantumkan kata “Syariah” sesudah kata bank dan dilarang mengubah kegiatan usahanya menjadi bank konvensional pada pasal 8. 
Bank umum konvensional yang membuka kantor cabang bank syariah wajib melaksanakan hal hal sebagai berikut : 
a. Membentuk Unit Usaha Syariah ( UUS) 
Yaitu satuan kerja setingkat yang berfungsi sebagai kantor induk dari seluruh kantor induk dari seluruh kantor cabang syariah. 
b. Memiliki Dewan Pengawas Syariah ( DPS ) yaitu badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional ( DSN ) pada bank. 
c. Bank yang telah membuka Unit Usaha Syariah dapat membuka cabang Syariah dengan izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesi. 
d. Bank yang membuka cabang syariah wajib menyediakan modal kerja. 
9. Kebijakan Pemerintah di Bidang Perbankan Syariah 
1. Pengembangan jaringan kantor bank syariah 
Dilakukan dengan cara : 
a. Peningkatan kualitas bank bank umum dan BPR syariah yang telah beroperasi, melalui bantuan teknis dan training baik yang diselenggarakan oleh bank Indonesia maupun lembaga bantuan lainnya.
b. Pendirian bank umum syariah baru dengan persyaratan modal disetor minimum sebesar tiga triliun rupiah, sumber dana untuk modal disetor tidak boleh berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dari bank atau pihak lain di Indonesia. 
c. Perubahan kegiatan usaha bank konvensional yang memiliki kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah. .
2. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai bank syariah 
Upaya meningkatkan pemahaman ini dilaksanakan karena didasari bahwa perbankan syariah di Indonesia masih dalam tahap awal pengembangan. Bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip prinsip dasar hubungan antara bank dengan nasabah serta cara cara berusaha yang halal dalam bank syariah masih sangat perlu disosialisasikan. 
3. Penyusutan dan penyempurnaan ketentuan operasional bank syariah 
a. Kelembagaan meliputi pendirian, kepemilikan, kepengurusan, dan kegiatan usaha bank. 
b. Pengaturan yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas dan instrument moneter yang sesuia dengan prinsip syariah.
c. Pelaksanaan prinsip kehati hatian. 
d. Peraturan dari Bank Indonesia tentang operasional perbankan syariah. 
4. Pengembangan Sumber Daya Manusia ( SDM ) 
Dilakukan dengan cara : 
a. Pelatihan operasional bank syariah terhadap SDM yang berminat untuk mengembangkan perbankan syariah. 
b. Workshop mengenai perbankan syariah dibidang kegiatan usaha dan produk Islamic banking. 
c. Penyelenggaran seminar atau sebagai pembicara seminar atau diskusi. 

BAB III
PENUTUP 

A. Kesimpulan 
Tahapan tahapan perkembangan bank syariah : 
      1. Praktik Perbankan di Zaman Nabi SAW dan Sahabat.
      2. Praktik Pebankan di Zaman Ba Praktik Perbankan di Eropa
3. Praktik Umayyah dan Bani Abasiah
      4. Perbankan Syariah Modern
         a. Tahapan Pengembangan kerangka konseptual (1950-1975)
         b. Tahapan eksperimen (1975 – 1990)
         c. Tahapan penetrasi pasar & perluasan wilayah operasi (1990 – sekarang).
      5. Perkembangan Perbankan Syari’ah Dunia Internasional 

B. Saran 
Demikian makalah yang kami buat, semoga makalah yang kami susun dapat bermanfaat, khususnya bagi kami penyusun dan umumnya bagi setiap yang membacanya. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. 

DAFTAR PUSTAKA 

Adiwarman Azwar Karim, 2003, Bank Islam, Jakarta : IIIT Indonesia 
Gemala Dewi, 2007 Aspek Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta : Prenada Media Group
Kasmir, 2016 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2016 
Nurul Hudha Dkk, 2010 Lembaga Keuanagan Islam, Jakarta : Fajar Interpramata Offset

MAKALAH EPISTIMOLOGI - MAKALAH AIDA

BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
       Diakhir abad ke-16 Rene Descartes menjadi toko pionir dalam lahirnya aliran rasionalisme. Rasionalisme memandang budi atau rasio sebagai sumber dan pangkal dari segala pengertian dan pengetahuan. Dari budilah yang memegang tampuk pimpinan dalam segala bentuk” mengerti”. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa manusia sejak lahir telah dikaruniai idea oleh Tuhan yang dinamakan idea innatae ( ide bawaan).
         Sebenarnya aliran yang pertama adalah aliran empirisme, aliran empirisme dotokohi oleh ilmuan abad ke-13 Francis Bacon. Aliran ini mengatakan bahwa bukanlah budi yang menjadi sumber dan tangkal pengetahuan, melainkan idea atau pengalaman. Aliran ini memandang bahwa filsafat tidak ada gunanya bagi hidup. Sedangkan yang berguna adalah ilmu yang diperoleh melalui indera, dan pengetahuan inilah yang pasti benar. Kaum empirisme mengatakan bahwa ketika lahir jiwa manusia putih bersih tidak ada bekal dari siapapun.
         Disamping aliran empirisme dan rasionalisme masih ada aliran yang lainnya yaitu intiusionisme. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diprediksi namun bagi Maslom intuisi merupakan pengalaman puncak. Intuisi inilah yang menjadi pengetahuan mistik. 
Aliran yang selanjutnya adalah positivisme. Aliran ini digawangi oleh ilmuan Aguste Comte, aliran inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmu pengetahuan. Positivisme merupakan suatu ajaran yang membatasi pengetahuan terhadap fakta dan pengalaman, dan menolak memulai spekulasi terhadap sifat-sifat pokok suatu benda. 
         Dengan kata lain, suatu paham yang menyatakan bahwa spekulasi harus diganti dengan pengujian dan pengalaman sistematis.
Manusia adalah mahkluk berpikir, berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, dan mencari jawaban adalah mencari kebenaran tetang suatu hal. Mencari jawaban tentang bagaimana pengetahuan mistik diperoleh? Objek Empiris dapat diketahui oleh sain, objek abstrak rasional dapat diketahui oleh filsafat, sisanya yaitu yang abstrak suprarasional/ natural diketahui dengan apa? Jawabannya yaitu dengan mistik.
         Manusia ingin tahu. Ia ingin tahu apa rasa tebu, kemudian dicicipi dan tahulah tebu rasanya manis. Ini adalah pengetahuan empiris dan inilah pengetahuan sain.Manusia ingin tahu, mengapa air tebu rasanya manis. Ia berpikir dan berfilsafat dalam artian sebagai aktivitas berpikir murni atau suatu kegiatan ( akal manusia) dalam usaha untuk mengerti secara mendalam segala sesuatunya. Dari hasil berpikirnya tersebut ia temukan bahwa yang membuat tebu selalu manis adalah Tuhan. Ini masih pengetahuan filsafat. Manusia juga ada yang ingin tahu Tuhan itu siapa dan seperti apa. Ini adalah objek abstrak suprarasional. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah pengetahuan mitstik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari epistimologi dan mistik?
2. Apa saja objek pengetahuan mistik?
3. Bagaimana cara memperoleh pengetahuan mistik?
4. Bagaimana ukuran kebenaran mutlak?

C. Tujuan Masalah
1. Dapat menjelaskan defenisi dari epistimologi dan mistik.
2. Dapat menyebutkan apa saja objek yang dikaji dalam pengetahuan mistik.
3. Dapat mengetahui cara memperoleh pengetahuan mistik.
4. Dapat mengetahui ukuran kebenaran yang mutlak

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistimologi dan Mistik
       Epistimologi atau teori pengetahuan adalah analisis terhadap sumber-sumber pengetahuan. Epistimologi adalah ilmu yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Objek material epistimologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakekat pengetahuan, persoalan lain yang dikaji dalam epistimologi diantaranya yaitu asal usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan pengetahuan dengan keniscayaan, dan hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran.  
Dalam kamus besar bahasa indonesia mistik mempunyai arti yaitu subsistem yang ada dihampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan, tasawuf dan suluk serta hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa. 
Menurut asal katanya mistik berasal dari bahasa yunani mystikos yang artinya rahasia atau geheim, serba rahasia atau geheim zinning, tersembunyi atau verborgen, gelap atau dongker, atau terselubung dalam kekelaman atau in het duister gehuld. Mistik adalah pengetahuan yang tidak rasional, ini pengertian yang umum. Adapun pengertian mistik yang diperoleh melalui meditasi atau spritual, bebas dari ketergantungan indera dan rasio.  
      Pengetahuan mistik adalah pengetahuan yang tidak dapat dapat dipahami rasio, maksudnya, hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio. Didalam islam, yang termasuk pengetahuan mistik adalah pengetahuan yang diperoleh melalui jalan tasawuf atau pengetahuan mistik yang memang tidak diperoleh melalui indera atau jalan rasio. Pengetahuan mistik juga dapat disebut pengetahuan yang supprarasional tetapi kadang-kadang memiliki bukti empiris. 
Pengetahuan mistik juga sering disebut dengan pengetahuan metafisika yang artinya cabang filsafat yang membicarakan “hal-hal yang berada dibelakang gejala-gejala yang nyata”. Metafisika itu sendiri berasal dari kata “meta” dan “fisika”. Meta berarti “sesudah”, “selain”, atau” balik”. Fisika yang berarti “nyata”, atau “alam fisik”. Dengan kata lain bisa disebut juga “sesudah”, dibalik yang nyata”. 
Menurut Asmoro Achmadi metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat “keluar biasaan” (beond nature) yang berada diluar pengalaman manusia (immediate exprience). Menurut ahmadi, metafisika mengkaji sesuatu yang berada diluar hal-hal yang berlaku pada umumnya (keluar biasaan), atau hal-hal yang tidak dialami, serta hal-hal yang berada diluar kebiasaan atau diluar pengalaman manusia. 
    Berdasarkan arti tersebut mistik sebagai sebuah paham mistik atau mistisme, merupakan yang memberikan ajaran yang serba mistis (ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya, tersembunyi,gelap, atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui, atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali bagi penganutnya.
     Pengetahuan mistik ialah pengetahuan yang diperoleh tidak melalui indera dan bukan melalui rasio. Pengetahuan ini diperoleh melalui rasa, melalui hati sebagai alat merasa. Kalau indera dan rasio adalah alat mengetahui yang dimiliki manusia, maka rasa atau hati juga adalah alat mengetahui. Manusia laksana radio penerima. Siaran empirisme ia terima dan dipahami dengan menggunakan alat indera, siaran yang  tidak empiris tetapi rasional, ia terima dan dipahami melalui akal rasional yang bekerja secara logis. Siaran-siaran yang amat rendah frekuensinya, sehingga bukan saja indera tidak mampu menangkapnya, akal rasional pun tidak mampu menangkapnya, hanya dapat ditangkap dengan rasa.

B. Objek Pengetahuan Mistik
       Yang menjadi objek pengetahuan mistik ialah objek yang abstrak suprarasional, seperti Tuhan (yang sama sekali diluar atau diatas jangkauan ilmu pengetahuan biasa), malaikat, surga, neraka, jin, setan, dan lain-lain. Termasuk objek yang  hanya dapat diketahui melalui pengetahuan mistik ialah objek- objek yang tidak dapat dipahami oleh rasio (secara logis), yaitu objek-objek supranatural (supra rasional) seperti kebal (ilmu kekebalan), debus, pelet, penggunaan jin dan santet.
Anda percaya bahwa debus benar-benar ada dan terjadi? Kata anda “percaya”. Mengertikah anda bagaimana itu terjadi? Tidak, anda tidak mengerti bila anda menggunakan rasio, sebab kekebalan itu tidak rasional. Anda dapat memehaminya melalui mistik, yaitu jalan suprarasional.




C. Cara Memperoleh Pengetahuan Mistik
       Bagaimana memperoleh pengetahuan mistik? Diatas sudah dikatakan bahwa mistik itu tidak diperoleh melalui indera dan tidak juga dengan akal rasional. Pengetahuan mistik diperolah melalui rasa, Immanuel Kant mengatakan itu melalui moral ada yang mengatakan melalui intution (daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari, bisikan atau gerakan hati), ada yang mengatakan melalui insight (wawasan, pengetahuan, pengertian). Alghazali mengatakan melalui dhamir, atau qalbu.
Anda ingin tau bagaimana hakekat Tuhan itu sebagian dari hakekatnya? Kata kaum sufi, anda harus menghilang sebanyak mungkin unsure nasut pada diri anda dan memperbesar unsure lahut. Unsure nasut ialah unsur jasmani, sedangkan unsure lahut adalah unsure rohani atau sifat-sifat illahiyah. 
Bila kita tidak lagi terlalu banyak dipengaruhi unsure nasut, maka unsur lahut akan berkomunikasi dengan Tuhan, yang Tuhan itu semuanya lahut.
        Kaum sufi kerapkali mengaku bahwa mereka telah menembus dunia extra dimensi, dunia transedental yang ghaib, yang eksistensinya sangat berbeda secara diamental dengan realitas alam materi. Akan tetapi pengalaman mistik tersebut seringkali diklaim sangat bersifat subjectif spekulatif, sehingga hakikat pengalaman mistik dianggap tidak memiliki basis objektif ontologisnya. Sebenarnya pengalaman mistik merupakan pengalaman real manusia, sebagaimana pengalaman ibdrawi, mental maupun rasional. Dan bahkan setiap pengalaman hidup manusia, tentu memiliki aspek subjectif dan objectif. 
Untuk menghilangkan atau mengurangi unsur nasut itu manusia harus membersihkan dari nafsu-nafsu jasmaniah. Ia harus memperkuat rohaninya. Rohaninya akan sensitive atau peka. Caranya antara lain seperti yang diajarkan oleh kaum sufi. Tharikat dalam hal ini adalah cara dalam membersihkan diri. Tharikat dalam hal ini merupakan epitimologi untuk memperoleh pengetahuan mistik.
       Pada umumnya cara memperoleh pengetahuan mistik adalah latihan yang disebut juga riyadhah. Dari riyadhah itu manusia memperoleh pencerahan, memperoleh pengetahuan yang dalam tasawuf disebut ma’rifah.
        Pengetahuan mistik yang lain, seperti ilmu kekebalan tubuh, bagaimana cara memperolehnya? Sama saja dengan diatas tadi yaitu latihan. Umumnya latihan itu adalah latihan batin. Pelet santet diperoleh juga dengan metode yang sama. Dapatlah disimpulkan sekalipun kasar bahwa epistimologi pengetahuan mistik ialah pelatihan batin.
      Dalam intuisi mistis dikenal dengan pengetahuan transcendent (sangat penting) yaitu sebuah jagat metapisis melampaui kesadaran individual, namun bisa dikomunikasikan secara langsung kepada individu, tanpa perantara personal (empiris apapun).  
          Kebenaran-kebenaran dikomunikasikan secara sukarela oleh kekuasaan yang lebih tinggi yang bicara melalui individu. Jadi individu menjadi saluran-saluran kebenaran semacam itu bisa diragukan, karena mereka mengandung arti penting adanya kontak langsung dengan jagat intisari yang tak dalam cara apapun diarih melalui proses-proses subjektif yang biasa. 
        Intuisi mistis, sebagaimana diterapkan pada anggapan-anggapan mengenai kebenaran transenden. Orang lain langsung tahu tanpa ragu sedikitpun. Namun, apa yang diketahuinya sama sekali tidak terbukti (dalam kaitan bahwa ia mencerminkan sekedar kesadaran gamblang yang tiba-tiba tentang makna inhren dalam pengalaman yang murni yang bersifat personal). 
       Penalaran dipandang sebagai pendekatan terhadap pengetahuan metafisis yang pada intinya merupakan sebuah pendekatan “rasionalis” terhadap nalar dan karenanya cukup berbeda dari apa yang kita pandang sebagai “nalar sebagai penerapan logika” yang lebih merupakan ciri sudut pandang empiric dalam filosofi yang memuat keyakinan bahwa cara terbaik untuk menemukan makna yang terbuat dalam keberadaan adalah melalui perenungan dan analisis logis. Dalam proses ini, individu membedakan hal-hal yang sudah pasti secara metafisis (yang terbukti dengan sendirinya) dengan hal-hal yang hanya mungkin saja (harus dibuktikan). Dan ia mengembangkan sebuah system keyakinan-keyakinan umum yang utuh dan tertata dengan memakai rujukan logis berdasarkan pembedaan tadi.
      Anggapan filosof-filosof metafisis bahwa kebenaran secara tidak langsung dapat diraih dan dimengerti lewat penalaran adalah anggapan yang controversial karena berbagai alasan, tapi secara umum jalur penalaran yang fundamental kan tertangkap dalam tiga gagasan berikut ini:
1. Manusia sebuah gagasan yang rasional, menemukan kebanyakan jawaban yang rasional yang tak terhindarkan lagi bersifat meyakinkan.
2. Jawaban-jawaban yang paling rasional adalah jawaban-jawaban yang paling logis dan paling tertata/koheren dalam ranah ha;-hal tersebut, umpamanya kehendak bebas, keberadaan sosok Tuhan yang personal, dan semacam itu yang sudah diketahui sebagai benar dengan dasar terbukti dengan sendirinya. 
3. Karena itu, kebenaran dapat diakseskan secara langsung melalui penalaran karena:

a. Hal-hal tertentu sudah dengan sendirinya sejak awal, dan mewakili pengetahuan imanen (adalah pengetahuan yang ada lebih dulu dari jenis pengetahuan personal apapun, dan karenanya mandiri serta lepas dari tindakan personal apapun dalam hal mengetahui) ataupun pengetahuannya tranenden.
b. Rujukan-rujukan rasional didasarkan pada keyakinan-keyakinan yang terbukti dengan sendirinya tadi, tak bisa ditawar-tawarkan lagi akan menuntun ke arah kesimpulan-kesimpulan menyeluruh tertentu yang menolak keraguan apapun.

D. Ukuran Kebenaran Mutlak
       Kebenaran sains diukur dengan rasio dan bukti empiris. Bila teori sains rasional dan ada bukti empiris, maka teori itu benar. Ukuran kebenaran pengetahuan filsafat adalah logis, berarti teori itu benar. Logis berarti masuk akal, logis dalam filsafat dapat berartirsional atau supra-natural.
       Kebenaran pengetahuan mistik diukur dengan berbagai ukuran. Bila pengetahuan mistik itu berasal dari Tuhan, maka ukurannya ialah teks Tuhan yang menyebutkan demikian. Tatkala Tuhan dalam Al-Qur’an mengatakan bahwa surga neraka itu ada, maka teks itulah yang menjadi bukti bahwa pernyataan itu benar. Ada kalanya ukuran kebenaran pengetahuan mistik itu kepercayaan. Kepercayaan adalah anggapan atau sikap mental bahwa sesuatu itu benar, atau sesuatu yang diakui sebagai kebenaran. Jadi, sesuatu dianggap benar karena kita mempercayainya. Kita percaya bahwa jin dapat disuruh  melakukan suatu pekerjaan. Ya, kepercayaan kita itulah ukuran kebenarannya. Ada kalanya kebenaran suatu teori dalam pengetahuan mistik diukur dengan bukti empiris atau biasanya disebut dengan empirisme (aliran yang mengemukakan bahwa sumber pengetahuan manusia ialah pikiran, rasio, dan jiwa manusia). Dalam hal ini bukti empiris itulah ukuran kebenarannya. Kebal adalah sejenis pengetahuan mistik. Kebenarannya dapat diukur dengan kenyataan empiris misalnya seseorang memperlihatkan dihadapan orang banyak bahwa ia tidak mempan ditusuk jarum. 
Satu-satunya tanda pengetahuan disebut pengetahuan (bersifat) mistik adalah kita dapat menjelaskan hubungan sebab akibat yang ada didakam suatu kejadian mistik. Dalam contoh kebal, kita tidak dapat menjelaskan secara rasional mengapa jarum tidak mampu menembus kulit orang kebal. Jadi, yang bersifat mistik itu ialah “mengapa” nya. Akan lebih merepotkan kita memahami suatu teori itu jika tidak memiliki bukti empiris. Sulit diterima karena secara tidak terbukti dan bukti empiris pun tidak ada.
        Dalam hal kebenaran-kebenaran yang besar dan mutlak, manusia secara epistimologi (menurut filosofi ilmu pengetahuan) tidaklah sempurna, dan karenanya tak mampu menalar keraguan yang beralasan (reasonable doubt). Sesungguhnya kebenaran-kebenaran mutlak itu tidak hanya ada, melainkan ada diatas dasar intuitif (tapi tidak nampak), mereka mutlak dan tidak meragukan lantaran mereka tidak relatif, tidak tergantung kepada “diketahui” atau “dibutuhkan” dalam ranah hal-hal lain yang sudah dialami. Dalam arti tersebut mereka “benar” bukan atas dasar pembuktian (pengalaman personal) melainkan benar karena terbukti dengan sendirinya (bukti itu sendiri terkandung dalam kebenaran itu sendiri). Gagasan-gagasan semacam itu tidak bisa dibuktikan dalam arti yang biasa, karena untuk menjadi “benar karena ada buktinya” berarti menjadi relatif, tergantung terbukti atau tidaknya. Jadi, untuk tahu lebih dhulu sebelum ada buktinya, sebagai syarat untuk menjadi bukti bagi seluruh bukti selanjutnya, adalah sesuatu yang dituntut dan tak bisa dihindari bagi segala jenis “objektivitas filosofis yang tertinggi”. 

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
      Epistimologi adalah ilmu yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Pengetahuan mistik adalah pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio, maksudnya, hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio.
Yang menjadi objek pengetahuan mistik ialah objek yang abstrak-supra-rasional, seperti Tuhan, malaikat, surga, neraka, jin, setan dan lain-lain.
Immanuel Kant mengatakan cara memperoleh pengetahuan mistik yaitu melalui moral, ada juga pendapatan lain yang mengatakan melalui intuition (daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari:bisikan atau gerakan hati), serta ada juga yang mengatakan melalui insight (wawasan, pengetahuan, pengertian). Al-Ghazali mengatakan melalui dhamir, atau qalbu. Bila pengetahuan mistik itu berasal dari Tuhan, maka ukurannya ialah teks Tuhan yang menyebutkan demikian. Tatkala Tuhan dalam Al-Qur’an mengatakan bahwa surga neraka itu ada, maka teks itulah yang menjadi bukti bahwa pernyataan itu benar.
Ada kalanya ukuran kebenaran pengetahuan mistik itu kepercayaan. Jadi, sesuatu dianggap benar karena kita mempercayainya.

B. Saran
     Kepada seluruh pembaca diharapkan agar dapat memberikan kritik dan sarannya demi tercapainya kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya, oleh sebab itu saran dan kritik yang anda berikan sangatlah membantu penulis dalam membuat makalah yang lebih baik lagi

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Zaprulkhan. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 2012.
Popper, Karl. R dan Alfons Taryadi. Epistimologi Pemecahan Masalah .Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1991.
Sudarsono. Ilmu Filsafat. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2001.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009.

MAKALAH ISHTISAN LENGKAP - MAKALAH AIDA

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
       Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari ilmu Ushul Fiqih yang dibahas di dalam makalah ini adalah tentang Istihsan, yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.

2.   Rumusan masalah
1.Pengertian Istihsan ?
2. Pembagian istihsan ?
3.Istihsan menurut  Syafi’iah ?
4.Istihsan menurut Malikiyah ?
5.Istihsan menurut Hanafiah ?

BAB II 
PEMBAHASAN 

A. PENGERTIAN  ISTIHSAN
    Istihsan  menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan menurut istilah, istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar- samar) atau meninggalkan hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum i (pengecualian) disebabkan ada dalil dalam logika membenarkannya.
Istihsan secara istilah menurut ulama Malikiyah adalah mengutamakan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-bahaya secara khusus sebab dalil umum menghendaki dicegahnya bahaya itu. Karena kalu tetap dipertahankan asal dalil umum itu maka akan mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang dikehendaki oleh dalil umum itu. Padahal tujuan itu harus terlaksana seoptimal mungkin. 
      Menurut Ulama Syafi’iah Istihsan adalah pendapat yang tidak berdasarkan salah satu dari empat dalil sayarak, yaitu Al-Quran, Hadits, Ijmak, Qiyas
Pengertian istishan oleh seorang ulama Hanafiyah adalah beralih kepada penetapan hukum suatu masalah dan meninggalkan yang lainnya karena adanya dalil syara’ yang lebih khusus.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contohnya
      Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti elang dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya.  Binatang buas itu langsung langsung minum dengan mulutnya sehingga air liurnya masuk kedalam minumnya.
      Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.
      Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

B. PEMBAGIAN ISTIHSAN
1. Istihsan bil an-nas ( istihsan berdasarkan alquran dan hadits )
        Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah. Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11.
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”.
       Contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah Saw adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukan  sesuatu kedalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan  oleh hadits Nabi Saw yang mengatakan:
Siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya.” (HR. At.Tirmidzi).
2.   Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).
         Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan. Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, “Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-Ushuliyin”, (Mesir : Matba’ al-Sa-adah, th. 1980, hal.72)
         Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
       Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.
Misalnya, dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama dengan jual beli karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau mengalirkan air  ke lahan pertanian melalui tanah tersebut tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Dan menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa menyewa, karena maksud dari wakaf itu adalah memanfaatkan  lahan pertanian yang diwakafkan.
       Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan  pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.
4. Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).
     Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
5. Istihsan bi al-Urf  ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
      Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat.
Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah).
     Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan.
        Contohnya, syara’ melarang transaksi dan memperjual belikan barang-barang yang belum ada pada saat transaksi dilakukan. Namun, menurut istihsa,  sayara’ memberi dispentasi (rukhshah) diperkenankannya praktik salam (jual beli dengan pembayaran terlebih dahulu, tetapi barangnya dikirim kemudian) dan istishna’(memesan untuk dibuatkan sesuatu). Kedua bentuk transaksi yang disebut diatas adalah bagian dalam bentuk transaksi dagang, tetapi barang yang diperdagangkan belum terwujud pada saat transaksi dibuat.
        Hukum kulli dalam contoh ini ialah tidak sahnya memperjual belikan barang yang belum terwujud pada saat perikatan  atau transaksi terjadi. Namun, transaksi itu sangat dibutuhkan dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka dikecualikan dari hukum kulli tersebut suatu hukum juz’i, yaitu transaksi dalam bentuk salam dan istishna’. Segi istishnanya dalam hal ini adalah kebutuhan dan kebiasaan dalam masyarakat. Dengan kata lain, bila praktik salam dan istishna tidak dibenarkan, masyarakat akan mendapt kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua yang dibutuhkan masyarakat tersedia di pasaran saat transaksi  dilakukan. Oleh karenanya perlu dipesan terlebih dahulu.



C.      DASAR HUKUM ISTIHSAN
         Para ulama yang memakai istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam Al-Qur'an.
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah Swt bagi hamba-Nya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah Swt.
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan  perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah  hujjah. 

BAB III
PENUTUP 
         
     KESIMPULAN
1. Istihsan ialah Pendapat yang tidak berdasarkan salah satu dari empat dalil syarak yaitu Al-Quran, Sunnah, Ijmak, Qiyas
2.   Istihsan terbagi 6 :
1. Istihsan berdasarkan Alquran dan Hadits
2. Istihsan berdasarkan kepada Ijmak
3. Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi
4. Istihsan berdasarkan kemaslahatan
5. Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum
6. Istihsan berdasarkan dhorurah
.3.  Istihsan Menurut Syafi’iah adalah Pendapat yang tidak berdasarkan Al-Quran, Sunnah, Ijmak, Qiyas
4. Istihsan menurut Malikiyah adalah mengutamakan tujuan untuk  mewujudkan kemaslahatan
5.  Istihsan menurut Hanafiah adalah meninggalkan hukum dan berelih ke hukum lainnya di sebabkan ada dalil sayarak menyuruh meninggalkannya

DAFATAR PUSTAKA

Usman Iskandar.1994,Istihsan dan Pembaharuan hukum islam, PT RajaGrafindo perdada,Jakarta
Alaiddin Koto.2011,Ilmu fiqh dan ushul fiqh,RajaGrafindo persada,Jakarta
HusinnAlmunawar.2004,Ushul Fiqh,PT Ciputat Press

MAKALAH AKSIOLOGI FILSAFAT ILMU - MAKALAH AIDA LENGKAP

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
         Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Dan merupakan kenyataan yang tak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
           Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali dan Jakarta baru-baru ini. Disinilah ilmu harus di letakkan proporsional dan memihak pada nilai- nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Aksiologi ?
2. Apa saja makana dalam nilai kegunaan ilmu ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
        Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa yunani yaitu:axios yang berate nilai, sedangkan logos berarti teori atau ilmu. Aksiologi di pahami sebagai teori nilai. Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu penetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang ke filsafatan.Berikut ini di jelaskan beberapa definisi aksiologi :
        Aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.  
Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
     Aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral  sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Menurut Bramel (dalam Amsal 2009 :163) a aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan ke indahan.
3. Sosio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social politik.

      Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.

B.  Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu
         Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.
         Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. 
       Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
        Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.





C. Ilmu dan Moral
     Perkembangan ilmu tidak pernah terlepas dari ketersinggungannya dengan berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu, sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral yang para penggunanya. Peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan sebuah contoh penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju pada jamannya.
Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu hal.
Pada awal masa perkembangannya, ilmu seringkali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu. Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss, dan Gallileo Gallilei adalah beberapa contohnya. Selain itu ada pula beberapa kejadian dimana ilmu harus didasarkan pada nilai moral yang berlaku pada saat itu, walaupun hal tersebut bersumber dari pernyataan-pernyataan di luar bidang keilmuan (misalnya agama). 
         Karena berbagai sebab diatas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan otonomi dalam mengembangkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan. Setelah pertarungan ideologis selama kurun waktu 250 tahun, akhirnya para ilmuwan mendapatkan kebebasan dalam mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat dogmatik.
       Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mulai berani mengembangkan ilmu secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah yang di-kongkretkan dalam bentuk teknik. Yang dimaksud teknik disini adalah penerapan ilmu dalam berbagai pemecahan masalah. Yang menjadi tujuan ialah bukan saja untuk mempelajari dan memahami berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia, tetapi juga untuk mengontrol dan mengarahkannya. Hal ini menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu dengan moral.
       Berbicara masalah ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing lagi, keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seseorang ilmuan yang memiliki landasan moral yangn kuat, ia harus tetap memegang idiologi dalam mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuan bisa menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu (boboh). Kita berharap semoga hal ini bisa disadari oleh para ilmuan, pihak pemerintah, dan pendidik agar dalam proses transformasi ilmu pengetahuan tetap mengindahkan aspek moral.  Karena ketangguhan suatu bangsa bukan hanya ditentukan oleh ketangguhkan ilmu pengetahuan tapi juga oleh ketangguhan moral warga.
         Masalah moral tidak bisa lepas dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, di perlukan keberanian moral.

D. Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan
      Ilmu merupakan hasil karya seseorang yang dikomunikasikan dan dikaji secara luas oleh masyarakat. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka karya ilmiah itu, akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka jelaslah jika ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar, bukan saja karena ia adalah warga masyarakat, tetapi karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan, tidak hanya sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi juga bertanggung jawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta bertanggung jawab dalam mengawal hasil penelitiannya agar tidak disalah gunakan .
         Tanggung jawab sosial lainnya dari seorang ilmuwan adalah dalam bidang etika. Dalam bidang etika ilmuwan harus memposisikan dirinya sebagai pemberi contoh. Seorang ilmuwan haruslah bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat ini beserta sifat-sifat lainnya, merupakan implikasi etis dari berbagai proses penemuan ilmiah. Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.Sudah seharusnya pula terdapat dalam diri seorang ilmuwan sebagai suri tauladan dalam masyarakat.
     Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
           Dibidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.
       Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang memepergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
        Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai – nilai khususnya etika.Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. 
Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik – baiknya.
        Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan.Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan seperti nuklir dan rekayasa genetika.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Soejono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : PT. Remaja Rosdakarya, 1986.
 Suriasumarni, Filsafat  Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Putaka Sinar Harapan, 2001.

MAKALAH HADIST DAN AKIDAH AKHLAK - MAKALAH AIDA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gelar pemimpin umat adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang diantarkannya.[ ]
Tidak hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada tujuan yang diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memilki suatu komitmen yang didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga dia memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini kalau kita melihat realita yang ada sulit sekali kita mendapati pemimpin yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi demi mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka tidak pernah tahu kalau suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Adanya hal semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat keimanan seorang pemimpin sehingga dia mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat dari kenyataan yang terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang terhadap bagaimana cara menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan mampu melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha menyajikan suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah setiap muslim itu pemimpin ?
2. Apakah Pemimpin Itu Pelayan Masyarakat ?
3. Sebatas Apa Kita Taat kepada pemimpin ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Setiap Muslim Adalah Pemimpin
       Dalam hadits imam bukhari dalam kitab “budak” bab : “ dibencinya memperpanjang perbudakan” dikatakan sebagai berikut :
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته
) اخرجه البخارى (
Artinya:
       “Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya”.[ ]
        Hadis di atas sangat jelas menerangkan tentang kepemimpinan setiap orang muslim dalam berbagai posisi dan tingkatannya. Mulai dari tingkatan pemimpin rakyat sampai tingkatan pemimpin terhadap diri sendiri. Semua orang pasti memiliki tanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt. Atas kepemimpinannya kela di akhirat.
Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa disadari kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok. Pemimpin juga harus berbuat adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, agaknya inilah yang diinginkan dalam QS. al-Nahl
Terjemahnya:
          “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan...”(QS. Al-Nahl : 90).
          Ayat di atas jelas sekali memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan di mana saja. Seseorang raja misalnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin sesuai perintah Allah swt. Dalam memimpin rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera.
      Sebaliknya, apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada, rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara keduanya.
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
          Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadap keluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.[ ]
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun gjawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
        Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin.
Kesimpulannya Setiap muslim adalah pemimpin jadi Ia harus sangat berhati-hati apa yang di kerjakannya sehingga ketika di minta pertanggung jawaban tentang apa yang di kerjakannya Ia bisa bertanggung jawab atas hal itu.



B. Pemimpin Pelayan Masyarakat
       Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang yang diberi amanat oleh Allah swt.untuk memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah swt. Sebagaimana yang telah disinggung di atas. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari rakyatnya karena sikap tercelanya (korupsi misalnya), ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntunan Allah swt.
Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya ia harus berusaha memosisikan dirinya sebagi pelayan dan pengayom masyarakat, Seperti Hadits dibawah ini:
حديث معقل بن يسار عن الحسن، ان عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار فى مرضه الذي مات فيه، فقال له معقل: انى محدئك هديئا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما من عبد استرعاه الله وعية فلم يحطلها بنصيحة الا لم يجد رائحة الجنة  )  اخرجه البخارى(
Artinya:
“Hadits ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasanya Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qil bertanya kepadanya: bahwasanya saya akan ceritakan kepadamu suatu hadits yang saya dengar dari Rasulullah saw saya mendengar nabi saw bersabda: “tidak ada seorang hamba yang diberi tugas oleh Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya”[ ] (HR. Bukhari dan Muslim)
        Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik dan selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.
Sebagaiman firman Allah SWT yang artinya :
    “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215)
      Yakni janganlah bersikap tinggi terhadapa mereka, jangan merasa tinggi akan tetapi rendahkanlah walaupun kamu orang yang berkedudukan tinggi dibanding mereka, maka hendaklah tetap merendahkan diri.[ ]
        Asbabun nuzul ayat tersebut adalah, dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun ayat وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الاَكْرَبِيْنَ , yaitu ayat sebelum ayat 215. Rasulullah saw memulai dakwahnya kepada keluarga terdekatnya. Hal ini menyinggung perasaan kaum muslimin (merasa terabaikan) sehingga Allah menurunkan ayat selanjutnya ayat 215 sebagai perintah untuk juga memperhatikan kaum mu’minin lainnya (diriwayatkan oleh ibnu Jabir yang bersumber dari ibnu Juaid).[ ]
Maka dari itu, siapa saja yang berkuasa mengendalikan urusan umat Islam, baik dalam kedudukannya sebagai amir (gubernur), khalifah, kepala Negara/pemimpin rakyat dalam biang tugas tertentu, lalu dia dibebankan rakyatnya dan menjalankan pemerintahannya itu dengan hal-hal yang menimbulkan kesulitan bagi rakyatnya. Maka nabi mendoakan supaya sang pemimpin itu ditimpakan siksaan Tuhan.
         Sebaliknya barang siapa yang menjadi pemimpin dan bertinak dengan lemah lembut. Maka Nabi mendoakan mudah-mudahan Tuhan juga lemah lembut terhadap dirinya.[ ]
Kesimpulannya adalah setiap pemimpin harus menjadi pelayan masyarakat sehingga hal ini bisa membawanya ke surga  dan nasib yang akan dialami oleh para pemimpin yang tidak bertanggung jawab : Mereka tidak akan diterima shalatnya oleh Allah. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium bau surga itu. Pemimpin yang tidak bertanggungjawab itu diancam 2 kali lipat siksaan rakyat yang mereka pimpin.

C. Batasan Taat Kepada Pemimpin
      Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan guna mencapai keinginan dan kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula untuk menggapai cita-cita tersebut, dia memerintahkan kepada para bawahannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agama. Terhadap perintah demikian, Islam melarang untuk menaatinya, seperti Hadits dibawah ini:
حديث عبد الله بن عمر رضى الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب فكره، ما لم يؤمن بمعصية، فإذا امر بمعصية فلا سمع ولاطاعة
( اخرجه البخارى )
Artinya:
“hadits Abdullah ibnu umar ra. Dari Nabi saw beliau bersabda: mendengarkan dan mentaati merupakan kewajiban seorang muslim mengenai hal-hal yang ia sukai dan ia benci, sepanjang ia tidak diperintahkan berbuat durhaka. Maka jika diperintah berbuat durhaka, maka tidak lah boleh mendengarkan dan tidaklah boleh mengikutinya”.[ ] (HR. Buhkari dan Muslim)
Sabda Rasulullah saw: “wajib atas seorang muslim”, kalimat ini menunjukkan kewajiban. Maka wajib bagi seseorang muslim berdasarkan keislamannya untuk selalu mendengarkan dan menaati pemerintah. Baik dalam hal yang ia sukai maupun yang ia benci. Walaupun ia memerintahkan dengan sesuatu yang dibencinya, namun ia wajib melaksanakannya, kecuali jika perintah itu bermaksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada Allah itu diatas segala ketaatan. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat terhadap khaliq.[ ] 
حديث علي رضي الله عنه قال: بعث النبي صلى الله عليه وسلم سرية وامر عليهم رجلا من الانصار وامرهم ان يطيعوهفغضب عليهم، وقال: اليس قد امر النبي صلى الله عليه وسلم ان تطيعونى؟ قالوا: بلى، قال: عزمت عليكم لما جمعتم حطبا واوقدتم نارا ثم دخلتم فيها فجمعوا حطبا. فأوقدوا. فلما هموا بالخل فقام ينظر بعضهم الى بعص، قال بعضهم: انما تبغنا النبي صلى الله عليه وسلم فرارا من النار افندخلها؟ فبينماهم كذالك اذ خمدت النار ، فسكن غضبه. فذكر النبي صلى الله عليه وسلم، قال: لو دخلوها ما خرجوا منها ابدا، انما الطاعة فى المعروف

Artinya:
“Hadits Ali ra, ia berkata: Nabi saw mengirimkan pasukan tentara dan mengangkat seorang laki-laki dari golongan anshar untuk menjadi komanan pasukan itu. Dan Nabi memerintahkan pasukan itu agar menaatinya lalu komandan pasukan itu memarahi pasukan sambil mengatakan: bukankan Nabi saw sungguh telah menyuruh kalian untuk menaati ku. Mereka menjawab “ya, benar”. Ia berkata: “saya bermaksud agar kalian mengumpulkan kayu bakar, dan kamu nyalakan api lalu kamu sekalian masuk kedalamnya.” Maka mereka mengumpulkan kayu bakar, lalu mereka menyalakannya. Ketika mereka hendak masuk ke dalam api maka sebagian dari mereka melihat kepada sebagian yang lain. Sebagian dari mereka berkata: “sesungguhnya kami mengikuti Nabi saw. agar terlepas dari api maka mengapakah kita akan memasukinya?” ketika mereka dalam keadaan demikian tiba-tiba api pun padam dan kemarahan komandan pun hilang. Lalu kasus tersebut disampaikan kepada Nabi saw. maka beliau bersabda: “seandainya mereka masuk ke dalam api itu, pastilah mereka tidak akan keluar dari padanya untuk selamanya, sesungguhnya kepatuhan itu adalah pada sesuatu yang baik”.[ ]
Firman Allah SWT yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59).

        Masih berkaitan dengan surah annisa ayat 59, al-hafidh ibnu hajar berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin hudzafah, munasabah atau keterkaitan disangkut pautkan dengan alasan turunnya ayat ini (surah an-nisa: 59), karena dalam kisah itu dihasilkan adanya perbatasan antara taat kepada pemerintah (pimpnan) dan menolak perintah, ntuk terjun ke dalam api. Ayat ini turun memberikan petunjuk kepada mereka apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasulnya.[ ]
Karena perintah penguasa itu terbagi tiga bagian:
1. Perintah yang sesuai dengan yang diperintahkan Allah ta’ala maka wajib ditaati
Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan metaati mereka apapun yang terjadi jika kamu disiksa oleh mereka disebabkan hal ini (tidak mentaati) maka mereka akan dibalas pada hari kiamat oleh Allah SWT.
Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak ada perintah atau larangan syar’I, di dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati termasuk orang-orang yang berdosa, dan penguasa berhak memberi hukuman dengan sesuatu yang mereka pandang sesuai, karena telah melanggar perintah Allah dalam mentaati mereka.[ ]
Maka dari itu wajib mendengar dan patuh kepada perintah pemimpinnya, selama yang diperintahkannya itu tidak merupakan perbutan maksiat. Apabila yang diperintahkan itu merupakan perbuatan maksiat yang tidak dibenarkan oleh syara’, maka rakyat tidak boleh mendengar dan mematuhi perintah itu. Misalnya, pemimpinitu melarang wanita muslim mengenakan jilbab; pemimpin yang menyuruh untuk melakukan perjudian dan masih banyak contoh yang lain.

2. Kriteria-kriteria pemimpin yang wajib kita taati :
1)      Islam
2)      Mengikuti perintah-perintah Allah dsan Rasul-Nya
3)      Menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar
4)      Lebih mementingkan kepentingan umat dari pada kepentingan pribadi
5)      Tidak mendzalimi umat Islam
6)      Memberikan teladan dalam beribadah
     Ringkasnya Pemimpin atau penguasa adalah pemelihara umat yang harus dengan jujur melaksanakan amanah dan tuntutan rakyatnya untuk menciptakan kesejahteraan di segala bidang. Ia akan mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang diambilnya sewaktu di dunia menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah akan melaknatnya.
Dan jika pemimpin itu sesuai dengan yang di tuliskan oleh Nabi maka Kita wajib menaati segala apapun yang di perintahkannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
   Kamu semua adalah pemimpin dan semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Pemimpin atau penguasa adalah pemelihara umat yang harus dengan jujur melaksanakan amanah dan tuntutan rakyatnya untuk menciptakan kesejahteraan di segala bidang. Ia akan mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang diambilnya sewaktu di dunia menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah akan melaknatnya.
Dan jika pemimpin itu sesuai dengan yang di tuliskan oleh Nabi maka Kita wajib menaati segala apapun yang di perintahkannya.
Perintah pernguasa terbagi tiga bagian
1)      Perintah yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah ta’ala wajib ditaati.
2)      Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan mentaati mereka
3)      Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat perintah atau larangan syar’i, dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati maka termasuk orang-orang yang berdosa.

B. Saran
        Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik di segi pembahasannya maupun susunan makalahnya, oleh karena itu penulis menyarankan kepada pembaca agar sudi kiranya memberikan kritikan dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini di masa yang akan datang

DAFTAR PUSTAKA

Thariq M As-Suwaidan dan  Faishal Umar Basyarahil, Melahirkan Pemimpin Masa Depan (Jakarta: Gema Insani, 2005)
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, (Semarang: Al-Ridha, 1993)
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalhin, Jilid 2, Cet. 2, (Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009)
Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Cet. 3, (Bandung: Cv Diponegoro, 1982)
Ibnu Hamzah Al-Husaini Ad-Damsyiki, Asbabul Wurud, Kalam Mulia.