Get me outta here!

Monday, January 6, 2020

MAKALAH ISHTISAN LENGKAP - MAKALAH AIDA

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
       Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari ilmu Ushul Fiqih yang dibahas di dalam makalah ini adalah tentang Istihsan, yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.

2.   Rumusan masalah
1.Pengertian Istihsan ?
2. Pembagian istihsan ?
3.Istihsan menurut  Syafi’iah ?
4.Istihsan menurut Malikiyah ?
5.Istihsan menurut Hanafiah ?

BAB II 
PEMBAHASAN 

A. PENGERTIAN  ISTIHSAN
    Istihsan  menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan menurut istilah, istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar- samar) atau meninggalkan hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum i (pengecualian) disebabkan ada dalil dalam logika membenarkannya.
Istihsan secara istilah menurut ulama Malikiyah adalah mengutamakan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-bahaya secara khusus sebab dalil umum menghendaki dicegahnya bahaya itu. Karena kalu tetap dipertahankan asal dalil umum itu maka akan mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang dikehendaki oleh dalil umum itu. Padahal tujuan itu harus terlaksana seoptimal mungkin. 
      Menurut Ulama Syafi’iah Istihsan adalah pendapat yang tidak berdasarkan salah satu dari empat dalil sayarak, yaitu Al-Quran, Hadits, Ijmak, Qiyas
Pengertian istishan oleh seorang ulama Hanafiyah adalah beralih kepada penetapan hukum suatu masalah dan meninggalkan yang lainnya karena adanya dalil syara’ yang lebih khusus.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contohnya
      Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti elang dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya.  Binatang buas itu langsung langsung minum dengan mulutnya sehingga air liurnya masuk kedalam minumnya.
      Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.
      Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

B. PEMBAGIAN ISTIHSAN
1. Istihsan bil an-nas ( istihsan berdasarkan alquran dan hadits )
        Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah. Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11.
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”.
       Contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah Saw adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukan  sesuatu kedalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan  oleh hadits Nabi Saw yang mengatakan:
Siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya.” (HR. At.Tirmidzi).
2.   Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).
         Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan. Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, “Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-Ushuliyin”, (Mesir : Matba’ al-Sa-adah, th. 1980, hal.72)
         Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
       Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.
Misalnya, dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama dengan jual beli karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau mengalirkan air  ke lahan pertanian melalui tanah tersebut tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Dan menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa menyewa, karena maksud dari wakaf itu adalah memanfaatkan  lahan pertanian yang diwakafkan.
       Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan  pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.
4. Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).
     Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
5. Istihsan bi al-Urf  ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
      Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat.
Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah).
     Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan.
        Contohnya, syara’ melarang transaksi dan memperjual belikan barang-barang yang belum ada pada saat transaksi dilakukan. Namun, menurut istihsa,  sayara’ memberi dispentasi (rukhshah) diperkenankannya praktik salam (jual beli dengan pembayaran terlebih dahulu, tetapi barangnya dikirim kemudian) dan istishna’(memesan untuk dibuatkan sesuatu). Kedua bentuk transaksi yang disebut diatas adalah bagian dalam bentuk transaksi dagang, tetapi barang yang diperdagangkan belum terwujud pada saat transaksi dibuat.
        Hukum kulli dalam contoh ini ialah tidak sahnya memperjual belikan barang yang belum terwujud pada saat perikatan  atau transaksi terjadi. Namun, transaksi itu sangat dibutuhkan dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka dikecualikan dari hukum kulli tersebut suatu hukum juz’i, yaitu transaksi dalam bentuk salam dan istishna’. Segi istishnanya dalam hal ini adalah kebutuhan dan kebiasaan dalam masyarakat. Dengan kata lain, bila praktik salam dan istishna tidak dibenarkan, masyarakat akan mendapt kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua yang dibutuhkan masyarakat tersedia di pasaran saat transaksi  dilakukan. Oleh karenanya perlu dipesan terlebih dahulu.



C.      DASAR HUKUM ISTIHSAN
         Para ulama yang memakai istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam Al-Qur'an.
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah Swt bagi hamba-Nya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah Swt.
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan  perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah  hujjah. 

BAB III
PENUTUP 
         
     KESIMPULAN
1. Istihsan ialah Pendapat yang tidak berdasarkan salah satu dari empat dalil syarak yaitu Al-Quran, Sunnah, Ijmak, Qiyas
2.   Istihsan terbagi 6 :
1. Istihsan berdasarkan Alquran dan Hadits
2. Istihsan berdasarkan kepada Ijmak
3. Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi
4. Istihsan berdasarkan kemaslahatan
5. Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum
6. Istihsan berdasarkan dhorurah
.3.  Istihsan Menurut Syafi’iah adalah Pendapat yang tidak berdasarkan Al-Quran, Sunnah, Ijmak, Qiyas
4. Istihsan menurut Malikiyah adalah mengutamakan tujuan untuk  mewujudkan kemaslahatan
5.  Istihsan menurut Hanafiah adalah meninggalkan hukum dan berelih ke hukum lainnya di sebabkan ada dalil sayarak menyuruh meninggalkannya

DAFATAR PUSTAKA

Usman Iskandar.1994,Istihsan dan Pembaharuan hukum islam, PT RajaGrafindo perdada,Jakarta
Alaiddin Koto.2011,Ilmu fiqh dan ushul fiqh,RajaGrafindo persada,Jakarta
HusinnAlmunawar.2004,Ushul Fiqh,PT Ciputat Press

0 comments:

Post a Comment