BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gelar
pemimpin umat adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu
memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat itu dan menghantarkannya
dengan selamat sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang
menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-kadang disamping, di
tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna
keselamatan orang yang diantarkannya.[ ]
Tidak
hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada tujuan yang
diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memilki suatu komitmen yang
didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan
perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga dia memiliki
keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun
dewasa ini kalau kita melihat realita yang ada sulit sekali kita
mendapati pemimpin yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas.
Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi mementingkan nasib dan
kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi demi mementingkan
kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka tidak pernah
tahu kalau suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan di
kemudian hari. Adanya hal semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat
keimanan seorang pemimpin sehingga dia mudah terpengaruh oleh hal-hal
yang negatif.
Berangkat
dari kenyataan yang terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi
ulang terhadap bagaimana cara menjadi pemimpin yang senantiasa
bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan mampu melayani masyarakat
dengan baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama. Melalui
pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha menyajikan suatu
pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab
dan mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah setiap muslim itu pemimpin ?
2. Apakah Pemimpin Itu Pelayan Masyarakat ?
3. Sebatas Apa Kita Taat kepada pemimpin ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Setiap Muslim Adalah Pemimpin
Dalam hadits imam bukhari dalam kitab “budak” bab : “ dibencinya memperpanjang perbudakan” dikatakan sebagai berikut :
حديث
عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم.
والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده
وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و
كللكم مسؤل عن رعيته
) اخرجه البخارى (
Artinya:
“Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah
pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang
laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang
wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta
pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin
terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang
harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan
diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya”.[ ]
Hadis di atas sangat jelas menerangkan tentang kepemimpinan
setiap orang muslim dalam berbagai posisi dan tingkatannya. Mulai dari
tingkatan pemimpin rakyat sampai tingkatan pemimpin terhadap diri
sendiri. Semua orang pasti memiliki tanggung jawab dan akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah swt. Atas kepemimpinannya kela di
akhirat.
Dengan
demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang
paling baik dan segala tindakannya tanpa disadari kepentingan pribadi
atau kepentingan kelompok. Pemimpin juga harus berbuat adil dan
betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya,
agaknya inilah yang diinginkan dalam QS. al-Nahl
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan...”(QS. Al-Nahl : 90).
Ayat di atas jelas sekali memerintahkan untuk berbuat adil
kepada setiap pemimpin apa saja dan di mana saja. Seseorang raja
misalnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana
mungkin sesuai perintah Allah swt. Dalam memimpin rakyatnya sehingga
rakyatnya hidup sejahtera.
Sebaliknya, apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak
sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada, rakyat akan
sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus menciptakan keharmonisan
antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara
keduanya.
Dalam
sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan
keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada
sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya
hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya
terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadap
keluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib
bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada
anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin
dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak
menghambur-hamburkannya.[ ]
Dalam
hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah
tanggun gjawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai
pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung
jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami
bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada
anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya,
seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang
presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang
dipimpinnya, dst.
Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna
melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak
(atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud
tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin.
Kesimpulannya
Setiap muslim adalah pemimpin jadi Ia harus sangat berhati-hati apa
yang di kerjakannya sehingga ketika di minta pertanggung jawaban tentang
apa yang di kerjakannya Ia bisa bertanggung jawab atas hal itu.
B. Pemimpin Pelayan Masyarakat
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang yang
diberi amanat oleh Allah swt.untuk memimpin rakyat, yang di akhirat
kelak akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah swt. Sebagaimana yang
telah disinggung di atas. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin
dapat meloloskan diri dari rakyatnya karena sikap tercelanya (korupsi
misalnya), ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntunan Allah swt.
Oleh
karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya
sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada
rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya ia harus berusaha memosisikan dirinya
sebagi pelayan dan pengayom masyarakat, Seperti Hadits dibawah ini:
حديث
معقل بن يسار عن الحسن، ان عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار فى مرضه
الذي مات فيه، فقال له معقل: انى محدئك هديئا سمعته من رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول: ما من عبد استرعاه الله وعية فلم يحطلها بنصيحة الا لم يجد
رائحة الجنة ) اخرجه البخارى(
Artinya:
“Hadits
ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasanya Ubaidillah bin yazid
mengunjungi Ma’qil bertanya kepadanya: bahwasanya saya akan ceritakan
kepadamu suatu hadits yang saya dengar dari Rasulullah saw saya
mendengar nabi saw bersabda: “tidak ada seorang hamba yang diberi tugas
oleh Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan
sesuai dengan petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya”[ ] (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang
tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya,
berbuat baik dan selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan
mempekerjakan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang
menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.
Sebagaiman firman Allah SWT yang artinya :
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215)
Yakni janganlah bersikap tinggi terhadapa mereka, jangan merasa
tinggi akan tetapi rendahkanlah walaupun kamu orang yang berkedudukan
tinggi dibanding mereka, maka hendaklah tetap merendahkan diri.[ ]
Asbabun nuzul ayat tersebut adalah, dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa ketika turun ayat وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ
الاَكْرَبِيْنَ , yaitu ayat sebelum ayat 215. Rasulullah saw memulai
dakwahnya kepada keluarga terdekatnya. Hal ini menyinggung perasaan kaum
muslimin (merasa terabaikan) sehingga Allah menurunkan ayat selanjutnya
ayat 215 sebagai perintah untuk juga memperhatikan kaum mu’minin
lainnya (diriwayatkan oleh ibnu Jabir yang bersumber dari ibnu Juaid).[ ]
Maka
dari itu, siapa saja yang berkuasa mengendalikan urusan umat Islam,
baik dalam kedudukannya sebagai amir (gubernur), khalifah, kepala
Negara/pemimpin rakyat dalam biang tugas tertentu, lalu dia dibebankan
rakyatnya dan menjalankan pemerintahannya itu dengan hal-hal yang
menimbulkan kesulitan bagi rakyatnya. Maka nabi mendoakan supaya sang
pemimpin itu ditimpakan siksaan Tuhan.
Sebaliknya barang siapa yang menjadi pemimpin dan bertinak
dengan lemah lembut. Maka Nabi mendoakan mudah-mudahan Tuhan juga lemah
lembut terhadap dirinya.[ ]
Kesimpulannya
adalah setiap pemimpin harus menjadi pelayan masyarakat sehingga hal
ini bisa membawanya ke surga dan nasib yang akan dialami oleh para
pemimpin yang tidak bertanggung jawab : Mereka tidak akan diterima
shalatnya oleh Allah. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan
mencium bau surga itu. Pemimpin yang tidak bertanggungjawab itu diancam 2
kali lipat siksaan rakyat yang mereka pimpin.
C. Batasan Taat Kepada Pemimpin
Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin yang
menyalahgunakan kekuasaan guna mencapai keinginan dan kepuasan hawa
nafsunya. Tidak jarang pula untuk menggapai cita-cita tersebut, dia
memerintahkan kepada para bawahannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang sebenarnya dilarang oleh agama. Terhadap perintah demikian, Islam
melarang untuk menaatinya, seperti Hadits dibawah ini:
حديث
عبد الله بن عمر رضى الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: السمع
والطاعة على المرء المسلم فيما احب فكره، ما لم يؤمن بمعصية، فإذا امر
بمعصية فلا سمع ولاطاعة
( اخرجه البخارى )
Artinya:
“hadits
Abdullah ibnu umar ra. Dari Nabi saw beliau bersabda: mendengarkan dan
mentaati merupakan kewajiban seorang muslim mengenai hal-hal yang ia
sukai dan ia benci, sepanjang ia tidak diperintahkan berbuat durhaka.
Maka jika diperintah berbuat durhaka, maka tidak lah boleh mendengarkan
dan tidaklah boleh mengikutinya”.[ ] (HR. Buhkari dan Muslim)
Sabda
Rasulullah saw: “wajib atas seorang muslim”, kalimat ini menunjukkan
kewajiban. Maka wajib bagi seseorang muslim berdasarkan keislamannya
untuk selalu mendengarkan dan menaati pemerintah. Baik dalam hal yang ia
sukai maupun yang ia benci. Walaupun ia memerintahkan dengan sesuatu
yang dibencinya, namun ia wajib melaksanakannya, kecuali jika perintah
itu bermaksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada Allah itu diatas
segala ketaatan. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat
terhadap khaliq.[ ]
حديث
علي رضي الله عنه قال: بعث النبي صلى الله عليه وسلم سرية وامر عليهم رجلا
من الانصار وامرهم ان يطيعوهفغضب عليهم، وقال: اليس قد امر النبي صلى الله
عليه وسلم ان تطيعونى؟ قالوا: بلى، قال: عزمت عليكم لما جمعتم حطبا
واوقدتم نارا ثم دخلتم فيها فجمعوا حطبا. فأوقدوا. فلما هموا بالخل فقام
ينظر بعضهم الى بعص، قال بعضهم: انما تبغنا النبي صلى الله عليه وسلم فرارا
من النار افندخلها؟ فبينماهم كذالك اذ خمدت النار ، فسكن غضبه. فذكر النبي
صلى الله عليه وسلم، قال: لو دخلوها ما خرجوا منها ابدا، انما الطاعة فى
المعروف
Artinya:
“Hadits
Ali ra, ia berkata: Nabi saw mengirimkan pasukan tentara dan mengangkat
seorang laki-laki dari golongan anshar untuk menjadi komanan pasukan
itu. Dan Nabi memerintahkan pasukan itu agar menaatinya lalu komandan
pasukan itu memarahi pasukan sambil mengatakan: bukankan Nabi saw
sungguh telah menyuruh kalian untuk menaati ku. Mereka menjawab “ya,
benar”. Ia berkata: “saya bermaksud agar kalian mengumpulkan kayu bakar,
dan kamu nyalakan api lalu kamu sekalian masuk kedalamnya.” Maka mereka
mengumpulkan kayu bakar, lalu mereka menyalakannya. Ketika mereka
hendak masuk ke dalam api maka sebagian dari mereka melihat kepada
sebagian yang lain. Sebagian dari mereka berkata: “sesungguhnya kami
mengikuti Nabi saw. agar terlepas dari api maka mengapakah kita akan
memasukinya?” ketika mereka dalam keadaan demikian tiba-tiba api pun
padam dan kemarahan komandan pun hilang. Lalu kasus tersebut disampaikan
kepada Nabi saw. maka beliau bersabda: “seandainya mereka masuk ke
dalam api itu, pastilah mereka tidak akan keluar dari padanya untuk
selamanya, sesungguhnya kepatuhan itu adalah pada sesuatu yang baik”.[ ]
Firman Allah SWT yang artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59).
Masih berkaitan dengan surah annisa ayat 59, al-hafidh ibnu hajar
berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin hudzafah, munasabah atau
keterkaitan disangkut pautkan dengan alasan turunnya ayat ini (surah
an-nisa: 59), karena dalam kisah itu dihasilkan adanya perbatasan antara
taat kepada pemerintah (pimpnan) dan menolak perintah, ntuk terjun ke
dalam api. Ayat ini turun memberikan petunjuk kepada mereka apabila
berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasulnya.[ ]
Karena perintah penguasa itu terbagi tiga bagian:
1. Perintah yang sesuai dengan yang diperintahkan Allah ta’ala maka wajib ditaati
Mereka
memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan metaati
mereka apapun yang terjadi jika kamu disiksa oleh mereka disebabkan hal
ini (tidak mentaati) maka mereka akan dibalas pada hari kiamat oleh
Allah SWT.
Mereka
memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak ada perintah atau larangan
syar’I, di dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati
termasuk orang-orang yang berdosa, dan penguasa berhak memberi hukuman
dengan sesuatu yang mereka pandang sesuai, karena telah melanggar
perintah Allah dalam mentaati mereka.[ ]
Maka
dari itu wajib mendengar dan patuh kepada perintah pemimpinnya, selama
yang diperintahkannya itu tidak merupakan perbutan maksiat. Apabila yang
diperintahkan itu merupakan perbuatan maksiat yang tidak dibenarkan
oleh syara’, maka rakyat tidak boleh mendengar dan mematuhi perintah
itu. Misalnya, pemimpinitu melarang wanita muslim mengenakan jilbab;
pemimpin yang menyuruh untuk melakukan perjudian dan masih banyak contoh
yang lain.
2. Kriteria-kriteria pemimpin yang wajib kita taati :
1) Islam
2) Mengikuti perintah-perintah Allah dsan Rasul-Nya
3) Menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar
4) Lebih mementingkan kepentingan umat dari pada kepentingan pribadi
5) Tidak mendzalimi umat Islam
6) Memberikan teladan dalam beribadah
Ringkasnya Pemimpin atau penguasa adalah pemelihara umat yang harus
dengan jujur melaksanakan amanah dan tuntutan rakyatnya untuk
menciptakan kesejahteraan di segala bidang. Ia akan
mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang diambilnya sewaktu di dunia
menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah
merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka
Allah akan melaknatnya.
Dan jika pemimpin itu sesuai dengan yang di tuliskan oleh Nabi maka Kita wajib menaati segala apapun yang di perintahkannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kamu
semua adalah pemimpin dan semua akan dimintai pertanggungjawaban
tentang kepemimpinannya. Pemimpin atau penguasa adalah pemelihara umat
yang harus dengan jujur melaksanakan amanah dan tuntutan rakyatnya untuk
menciptakan kesejahteraan di segala bidang. Ia akan
mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang diambilnya sewaktu di dunia
menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah
merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka
Allah akan melaknatnya.
Dan jika pemimpin itu sesuai dengan yang di tuliskan oleh Nabi maka Kita wajib menaati segala apapun yang di perintahkannya.
Perintah pernguasa terbagi tiga bagian
1) Perintah yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah ta’ala wajib ditaati.
2) Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan mentaati mereka
3)
Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat
perintah atau larangan syar’i, dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika
tidak mentaati maka termasuk orang-orang yang berdosa.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan baik di segi pembahasannya maupun susunan
makalahnya, oleh karena itu penulis menyarankan kepada pembaca agar sudi
kiranya memberikan kritikan dan saran yang membangun demi sempurnanya
makalah ini di masa yang akan datang
DAFTAR PUSTAKA
Thariq M As-Suwaidan dan Faishal Umar Basyarahil, Melahirkan Pemimpin Masa Depan (Jakarta: Gema Insani, 2005)
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, (Semarang: Al-Ridha, 1993)
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalhin, Jilid 2, Cet. 2, (Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009)
Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Cet. 3, (Bandung: Cv Diponegoro, 1982)
Ibnu Hamzah Al-Husaini Ad-Damsyiki, Asbabul Wurud, Kalam Mulia.
0 comments:
Post a Comment