Get me outta here!

Monday, January 6, 2020

MAKALAH HADIST DAN AKIDAH AKHLAK - MAKALAH AIDA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gelar pemimpin umat adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang diantarkannya.[ ]
Tidak hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada tujuan yang diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memilki suatu komitmen yang didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga dia memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini kalau kita melihat realita yang ada sulit sekali kita mendapati pemimpin yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi demi mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka tidak pernah tahu kalau suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Adanya hal semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat keimanan seorang pemimpin sehingga dia mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat dari kenyataan yang terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang terhadap bagaimana cara menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan mampu melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha menyajikan suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah setiap muslim itu pemimpin ?
2. Apakah Pemimpin Itu Pelayan Masyarakat ?
3. Sebatas Apa Kita Taat kepada pemimpin ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Setiap Muslim Adalah Pemimpin
       Dalam hadits imam bukhari dalam kitab “budak” bab : “ dibencinya memperpanjang perbudakan” dikatakan sebagai berikut :
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته
) اخرجه البخارى (
Artinya:
       “Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya”.[ ]
        Hadis di atas sangat jelas menerangkan tentang kepemimpinan setiap orang muslim dalam berbagai posisi dan tingkatannya. Mulai dari tingkatan pemimpin rakyat sampai tingkatan pemimpin terhadap diri sendiri. Semua orang pasti memiliki tanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt. Atas kepemimpinannya kela di akhirat.
Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa disadari kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok. Pemimpin juga harus berbuat adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, agaknya inilah yang diinginkan dalam QS. al-Nahl
Terjemahnya:
          “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan...”(QS. Al-Nahl : 90).
          Ayat di atas jelas sekali memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan di mana saja. Seseorang raja misalnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin sesuai perintah Allah swt. Dalam memimpin rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera.
      Sebaliknya, apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada, rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara keduanya.
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
          Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadap keluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.[ ]
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun gjawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
        Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin.
Kesimpulannya Setiap muslim adalah pemimpin jadi Ia harus sangat berhati-hati apa yang di kerjakannya sehingga ketika di minta pertanggung jawaban tentang apa yang di kerjakannya Ia bisa bertanggung jawab atas hal itu.



B. Pemimpin Pelayan Masyarakat
       Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang yang diberi amanat oleh Allah swt.untuk memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah swt. Sebagaimana yang telah disinggung di atas. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari rakyatnya karena sikap tercelanya (korupsi misalnya), ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntunan Allah swt.
Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya ia harus berusaha memosisikan dirinya sebagi pelayan dan pengayom masyarakat, Seperti Hadits dibawah ini:
حديث معقل بن يسار عن الحسن، ان عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار فى مرضه الذي مات فيه، فقال له معقل: انى محدئك هديئا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما من عبد استرعاه الله وعية فلم يحطلها بنصيحة الا لم يجد رائحة الجنة  )  اخرجه البخارى(
Artinya:
“Hadits ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasanya Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qil bertanya kepadanya: bahwasanya saya akan ceritakan kepadamu suatu hadits yang saya dengar dari Rasulullah saw saya mendengar nabi saw bersabda: “tidak ada seorang hamba yang diberi tugas oleh Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya”[ ] (HR. Bukhari dan Muslim)
        Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik dan selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.
Sebagaiman firman Allah SWT yang artinya :
    “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215)
      Yakni janganlah bersikap tinggi terhadapa mereka, jangan merasa tinggi akan tetapi rendahkanlah walaupun kamu orang yang berkedudukan tinggi dibanding mereka, maka hendaklah tetap merendahkan diri.[ ]
        Asbabun nuzul ayat tersebut adalah, dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun ayat وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الاَكْرَبِيْنَ , yaitu ayat sebelum ayat 215. Rasulullah saw memulai dakwahnya kepada keluarga terdekatnya. Hal ini menyinggung perasaan kaum muslimin (merasa terabaikan) sehingga Allah menurunkan ayat selanjutnya ayat 215 sebagai perintah untuk juga memperhatikan kaum mu’minin lainnya (diriwayatkan oleh ibnu Jabir yang bersumber dari ibnu Juaid).[ ]
Maka dari itu, siapa saja yang berkuasa mengendalikan urusan umat Islam, baik dalam kedudukannya sebagai amir (gubernur), khalifah, kepala Negara/pemimpin rakyat dalam biang tugas tertentu, lalu dia dibebankan rakyatnya dan menjalankan pemerintahannya itu dengan hal-hal yang menimbulkan kesulitan bagi rakyatnya. Maka nabi mendoakan supaya sang pemimpin itu ditimpakan siksaan Tuhan.
         Sebaliknya barang siapa yang menjadi pemimpin dan bertinak dengan lemah lembut. Maka Nabi mendoakan mudah-mudahan Tuhan juga lemah lembut terhadap dirinya.[ ]
Kesimpulannya adalah setiap pemimpin harus menjadi pelayan masyarakat sehingga hal ini bisa membawanya ke surga  dan nasib yang akan dialami oleh para pemimpin yang tidak bertanggung jawab : Mereka tidak akan diterima shalatnya oleh Allah. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium bau surga itu. Pemimpin yang tidak bertanggungjawab itu diancam 2 kali lipat siksaan rakyat yang mereka pimpin.

C. Batasan Taat Kepada Pemimpin
      Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan guna mencapai keinginan dan kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula untuk menggapai cita-cita tersebut, dia memerintahkan kepada para bawahannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agama. Terhadap perintah demikian, Islam melarang untuk menaatinya, seperti Hadits dibawah ini:
حديث عبد الله بن عمر رضى الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب فكره، ما لم يؤمن بمعصية، فإذا امر بمعصية فلا سمع ولاطاعة
( اخرجه البخارى )
Artinya:
“hadits Abdullah ibnu umar ra. Dari Nabi saw beliau bersabda: mendengarkan dan mentaati merupakan kewajiban seorang muslim mengenai hal-hal yang ia sukai dan ia benci, sepanjang ia tidak diperintahkan berbuat durhaka. Maka jika diperintah berbuat durhaka, maka tidak lah boleh mendengarkan dan tidaklah boleh mengikutinya”.[ ] (HR. Buhkari dan Muslim)
Sabda Rasulullah saw: “wajib atas seorang muslim”, kalimat ini menunjukkan kewajiban. Maka wajib bagi seseorang muslim berdasarkan keislamannya untuk selalu mendengarkan dan menaati pemerintah. Baik dalam hal yang ia sukai maupun yang ia benci. Walaupun ia memerintahkan dengan sesuatu yang dibencinya, namun ia wajib melaksanakannya, kecuali jika perintah itu bermaksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada Allah itu diatas segala ketaatan. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat terhadap khaliq.[ ] 
حديث علي رضي الله عنه قال: بعث النبي صلى الله عليه وسلم سرية وامر عليهم رجلا من الانصار وامرهم ان يطيعوهفغضب عليهم، وقال: اليس قد امر النبي صلى الله عليه وسلم ان تطيعونى؟ قالوا: بلى، قال: عزمت عليكم لما جمعتم حطبا واوقدتم نارا ثم دخلتم فيها فجمعوا حطبا. فأوقدوا. فلما هموا بالخل فقام ينظر بعضهم الى بعص، قال بعضهم: انما تبغنا النبي صلى الله عليه وسلم فرارا من النار افندخلها؟ فبينماهم كذالك اذ خمدت النار ، فسكن غضبه. فذكر النبي صلى الله عليه وسلم، قال: لو دخلوها ما خرجوا منها ابدا، انما الطاعة فى المعروف

Artinya:
“Hadits Ali ra, ia berkata: Nabi saw mengirimkan pasukan tentara dan mengangkat seorang laki-laki dari golongan anshar untuk menjadi komanan pasukan itu. Dan Nabi memerintahkan pasukan itu agar menaatinya lalu komandan pasukan itu memarahi pasukan sambil mengatakan: bukankan Nabi saw sungguh telah menyuruh kalian untuk menaati ku. Mereka menjawab “ya, benar”. Ia berkata: “saya bermaksud agar kalian mengumpulkan kayu bakar, dan kamu nyalakan api lalu kamu sekalian masuk kedalamnya.” Maka mereka mengumpulkan kayu bakar, lalu mereka menyalakannya. Ketika mereka hendak masuk ke dalam api maka sebagian dari mereka melihat kepada sebagian yang lain. Sebagian dari mereka berkata: “sesungguhnya kami mengikuti Nabi saw. agar terlepas dari api maka mengapakah kita akan memasukinya?” ketika mereka dalam keadaan demikian tiba-tiba api pun padam dan kemarahan komandan pun hilang. Lalu kasus tersebut disampaikan kepada Nabi saw. maka beliau bersabda: “seandainya mereka masuk ke dalam api itu, pastilah mereka tidak akan keluar dari padanya untuk selamanya, sesungguhnya kepatuhan itu adalah pada sesuatu yang baik”.[ ]
Firman Allah SWT yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59).

        Masih berkaitan dengan surah annisa ayat 59, al-hafidh ibnu hajar berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin hudzafah, munasabah atau keterkaitan disangkut pautkan dengan alasan turunnya ayat ini (surah an-nisa: 59), karena dalam kisah itu dihasilkan adanya perbatasan antara taat kepada pemerintah (pimpnan) dan menolak perintah, ntuk terjun ke dalam api. Ayat ini turun memberikan petunjuk kepada mereka apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasulnya.[ ]
Karena perintah penguasa itu terbagi tiga bagian:
1. Perintah yang sesuai dengan yang diperintahkan Allah ta’ala maka wajib ditaati
Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan metaati mereka apapun yang terjadi jika kamu disiksa oleh mereka disebabkan hal ini (tidak mentaati) maka mereka akan dibalas pada hari kiamat oleh Allah SWT.
Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak ada perintah atau larangan syar’I, di dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati termasuk orang-orang yang berdosa, dan penguasa berhak memberi hukuman dengan sesuatu yang mereka pandang sesuai, karena telah melanggar perintah Allah dalam mentaati mereka.[ ]
Maka dari itu wajib mendengar dan patuh kepada perintah pemimpinnya, selama yang diperintahkannya itu tidak merupakan perbutan maksiat. Apabila yang diperintahkan itu merupakan perbuatan maksiat yang tidak dibenarkan oleh syara’, maka rakyat tidak boleh mendengar dan mematuhi perintah itu. Misalnya, pemimpinitu melarang wanita muslim mengenakan jilbab; pemimpin yang menyuruh untuk melakukan perjudian dan masih banyak contoh yang lain.

2. Kriteria-kriteria pemimpin yang wajib kita taati :
1)      Islam
2)      Mengikuti perintah-perintah Allah dsan Rasul-Nya
3)      Menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar
4)      Lebih mementingkan kepentingan umat dari pada kepentingan pribadi
5)      Tidak mendzalimi umat Islam
6)      Memberikan teladan dalam beribadah
     Ringkasnya Pemimpin atau penguasa adalah pemelihara umat yang harus dengan jujur melaksanakan amanah dan tuntutan rakyatnya untuk menciptakan kesejahteraan di segala bidang. Ia akan mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang diambilnya sewaktu di dunia menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah akan melaknatnya.
Dan jika pemimpin itu sesuai dengan yang di tuliskan oleh Nabi maka Kita wajib menaati segala apapun yang di perintahkannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
   Kamu semua adalah pemimpin dan semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Pemimpin atau penguasa adalah pemelihara umat yang harus dengan jujur melaksanakan amanah dan tuntutan rakyatnya untuk menciptakan kesejahteraan di segala bidang. Ia akan mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang diambilnya sewaktu di dunia menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah akan melaknatnya.
Dan jika pemimpin itu sesuai dengan yang di tuliskan oleh Nabi maka Kita wajib menaati segala apapun yang di perintahkannya.
Perintah pernguasa terbagi tiga bagian
1)      Perintah yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah ta’ala wajib ditaati.
2)      Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan mentaati mereka
3)      Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat perintah atau larangan syar’i, dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati maka termasuk orang-orang yang berdosa.

B. Saran
        Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik di segi pembahasannya maupun susunan makalahnya, oleh karena itu penulis menyarankan kepada pembaca agar sudi kiranya memberikan kritikan dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini di masa yang akan datang

DAFTAR PUSTAKA

Thariq M As-Suwaidan dan  Faishal Umar Basyarahil, Melahirkan Pemimpin Masa Depan (Jakarta: Gema Insani, 2005)
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, (Semarang: Al-Ridha, 1993)
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalhin, Jilid 2, Cet. 2, (Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009)
Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Cet. 3, (Bandung: Cv Diponegoro, 1982)
Ibnu Hamzah Al-Husaini Ad-Damsyiki, Asbabul Wurud, Kalam Mulia.

0 comments:

Post a Comment