Get me outta here!

Monday, January 6, 2020

MAKALAH IJMA - MAKALAH AIDA

BAB I
PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Masalah
           Dalam menjalankan syari’at islam, umat islam perlu mengetahui dalil-dalil yang menjelaskan tentang syari’attersebut.Baik tata cara, larangan maupun perintah tertulis untuk melakukannya. Al-qur’an dan Hadits merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam menjelaskan syari’at islam.Keduanya merupakan dalil nash yang kehujjahannya diakui dan disepakati oleh umat islam di seluruh penjuru dunia sebagai ajaran dasar mereka.Masalah yang timbul dalam masyarakat modern seperti saat ini tidak semua dapat cukup teratasi dengan kedua dalil tersebut. Perkembangan teknologi dan pola pikir manusia jugalah yang mempengaruhi munculnya berbagai perkembangan masalah dalam masyarakat.Dari uraian ini, ijma’ merupakan sumber hukum alternati" yang dapat diambil kehujjahannya.Lalu bagaimana ijma’ itu sendiri kami akan membahasnya secara terperinci.

B. Rumusan masalah
1. Pengertian ijma’
2. Dasar hukum ijma’
3. Rukun ijma’
4. Macam macam ijma’
5. Unsur unsur ijma’

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ijma’
Secara etimologi ijma’ dapat digagi menjadi dua arti , yakni: 
a. Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Q.S.Yunus ayat 71
    .Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.

b. Kesepakatan terhadap sesuatu, Suatu kaum dikatakan telah berijma’ bilq mereka sepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman allah dalam quran surah yusuf ayat: 15
      Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."
Secara terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan ijma’ diantaranya :
a. Pengarang fushulul bada’I berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW.
b. Pengarang kitab tahrir, al kamal bin haman berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’.
Secara garis besar ijma’ adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam agama islam berdasarkan alquran dan hadis dalam suatu perkara yang terjadi.

B. Dasar hukum ijma’
1. Alquran 
  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa, apabila para ulilamri sudah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa maka,kesepakatan itu hendaknya di laksanakan.  
2. Hadis 
     Para mujtahid telah melakukan ijma’tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah di ikuti karena mereka tidak mungkin melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta. Sebagaimana sabda rasulullah saw. Yang artinya” umatku tidak bersepakat untuk melakukan kesalahan.” ( HR.Abu daud dan tirmidzi ).
3. Akal pikiran 
      Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’ hendaklah dilakukan dan di bina atas asas-asas pokok ajaran islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran islam, batas-batas yang telah di tetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang di tetapkan . 

C. Rukun Ijma’
1. Adanya sejumlah mujtahid ketika terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pandangan / pendapat yg masing-masing terdapat kesesuaian jika suatu saat tidak ada sejumlah mujtahid atau hanya ada satu mujtahid, maka menurut ketentuan syara’ tidak mungkin terjadi ijma’, oleh karena itu tidak ada ijma’ pada masa rosul 

2.   Adanya kesepakatan atas hukum syara’ dari para mujtahid umat islam terhadap    kejadian pada saat terjadinya masalah tersebut tanpa memandang negeri, kebangsaan, atau kelompok mereka. Maka apabila mujtahid Hijaz, Irak, dan Mesir saja yg sepakat terhadap hukum syara’ yg terjadi maka kesepakatan yg khusus ini tidak dikatakan sebagai ijma’, karena ijma’ tidak akan terjadi kecuali berdasar kepada kesepakatan secara umum dari semua umat islam dipenjuru dunia pada waktu terjadinya suatu peristiwa.
3. Kesepakatan mujtahid itu diiringi dengan pendapat mereka masing-masing secara jelas mengenai suatu kejadian, baik ditampilkan secara individu dan setelah pendapat-pendapatnya terkumpul tampak jelas melahirkan kesepakatan, atau menampilkan pendapatnya secara kelompok, contoh :  para mujtahid diseluruh dunia berkumpul setelah terjadinya suatu peristiwa dimasa mereka, kemudian masalah tersebut dihadapkan kepada mereka, setelah terjadi tukar pendapat mereka sepakat terhadap satu hukum atas masalah tersebut. 
4. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum, karenanya jika sebagian besar diantara mereka mengadakan kesepakatan maka kesepakatan itu tidak bisa dikatakan ijma’, selama masih ada golongan yg berselisih, karena selama masih ditemukan adanya perselisihan maka dapat dimungkinkan benar disatu pihak dan salah dipihak lain. 

D. Macam macam ijma’
Dilihat dari sisi bagaimana terjadinya, ijma dibagi 2 :
1.    Ijma Shorih
Yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa terhadap hukum suatu peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas, dengan berfatwa atau memberi keputusan. Pengertiannya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yg menyebabkan pendapat masing-masing mujtahid dianggap secara jelas. Ijma’ shorih termasuk ijma’ haqiqi sekaligus dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah menurut jumhur (syafi’I, malikiyyah dan sebagian hanaafiyyah) dan tidak boleh menentang kesepakatan para mujtahid karena kesepakatan itu merupakan hujjah qot’iyyah (hujjah yg pasti).
2.    Ijma Sukuti
Yaitu sebagian mujtahid pada suatu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yg dilakukan dengan cara memberi fatwa atau keputusan dan sebagian mujtahid lain tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persetujuan atau perbedaannya. Ijma’ sukuti merupakan ijama’ i’tibari. Ulama’ usul berpendapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan sebagai hujjah, sedangkan jumhurul ulama’ tidak mengatakan demikian, karena ijma’ sukuti itu tidak dihasilkan dari pendapat masing-masing mujtahid.

E. Unsur usr ijma’
Adapun unsur-unsur Ijma antara lain:
1. Terdapat kesepatakan seluruh mutjahid dari kalangan umat Islam (ulama)
2. Suatu kesepakatan yang dilakukan harus dinyatakan secara jelas
3. Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mutjahid.
4. Kesepakatan tersebut terjadi sesudah wafatnya Rasulullah Saw
5. Yang disepakati tersebut adalah hukum syara’ tentang suatu masalah/peristiwa hukum tertentu.


BAB III 
PENUTUP
Kesimpulan
        Ijma’ merupakan kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist dalam suatu perkara yang terjadi. Dan merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadist.
     Syarat ijma’ yakni ijma’ harus berkaitan dengan hukum syara’ yang disepakati oleh seluruh mujtahid yang merupakan umat Nabi Muhammad SAW dan dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat.  Macam-macam ijma’ antara lain ijma’ qauli, ijma’ sukuti, ijma’ sahabat, ijma’ ahlul bait, dan ijma’ ulama Madinah.
      Ijma’ merupakan hujjah yang wajib diamalkan karena ijma’ merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadist. Adapun dalil-dalil yang mendukung pendapat jumhur ulama diantaranya yang terdapat pada surat an-Nisa’ ayat 115 dan hadist-hadist nabawi yang menunjukkan kemaksuman umat Islam dari kesalahan dan kesesatan.
       Ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar.
DAFTAR PUSTAKA

Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Mardani. Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Syafe’i, Rachmad. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Syukur, Sarmin. Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.

0 comments:

Post a Comment