BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh
umat manusia mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal
bahwa sumber pelajaran islam adalah Al-Qur”an dan Sunnah yang sangat
lengkap.Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang
bersifat pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan
dan dilengkapi oleh Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan
pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.Para ulama
bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda pandangan, mengenai
pengertiannya secara istilah muncul belakangan, yaitu pada massa tasyri dan
massa sahabat.
Ijtihad mempunyai definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar
dan mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur Dilihat dari fungsinya ijtihad
berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi atau kelompok dalam merespon
peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Ijtihad juga berperan
sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud atau zhanni
ad-dalalahIjtihad diperlukan untuk menumbuhkan ruh islam dan berperan sebagai
penyalur kretifitas pribadi.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Pengertian
Qiyas ?
B. Syarat syarat Qiyas
C. Macam macam Qiyas
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Secara bahasa (arab) qiyas berarti ukuran, mengatahui ukuran
sesuatu, membandingkan atau menyamakan suatu dengan orang lain yang berarti” saya mengukur baju dengan
hasta,” pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa depinisi yang
dikemukakan para ulama ushul fiqh,sekalipun redaksinya berbeda, tetapi
mengandung pengertian yang sama. Diantaranya dikemukakan Sadr-al-syariah (747 H/1346 M, tokoh ushul piqh hanapi ).
Menurutnya qiyas adalah,:
Memperlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebutkan kesatuan
‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahsa saja.
Maksudnya, ‘illat
yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang
dihadapi seseorang mujtahid. Karena kesatuan ‘illat ini, maka hukum dari kasus
yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan
para ulama ushul piqh klasik dan konterporer diatas tentang qiyas, tetapi
mereka sepakat menyatakan bahwa proses penatapan hukum dari awal (istbat al-hukum
wa insya’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan
hukum-hukumnya. Penyingkapan penjelasan
ini dilakukan melalui pembahasan mendala dan teliti terhadap ‘illat dari
suatu kasus yang dihadapi. Apa bila ‘illat nya sama dengan ‘illat hukum yang
disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi adalah hukum
yang telah ditentukan nash tersebut.
B. Syarat-Syarat
Qiyas
Para Ulam ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun qiyas yang
telah didapatkan diatas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qiyas
dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Syarat-syarat
itu adalah sebagai berikut:
1. Ashl
Patokan dalam penatapan hukum adakalanya nash dan adakalanya ijmak’
oleh sebab itu, menurut ulama ushul piqh, apabila hukum yang ditetapkan
berdasarkan nash bisa di qiyaskan,menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H/805-1111M)
dan Saipudi al-Amidi (keduanya ahli piqh syafi’iyah), syarat-syarat ashl itu adalah:
a.
Hukum
ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinaskh-kan
(dibatalkan),
b.
Hukum
itu ditetapkan berdasarkan syara’,
c.
Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainya,
d.
dalil
yang mennetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus tidak bersipat umum,
e.
Ashl
itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas dan
f.
hukum
ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
2. Hukum Al-ashl
Menurut ulama ushul piqh mengatakan bahwa syarat-syarat hukum
Al-ashl adalah:Tidak bersipat khusus, dalam artian tidak bisa dikembangkan
kepada far’u misalnya, dalam sebuah riwayat dikatakan:
Kesaksian khuzaimah sudah cukup. (H.R.Abu Daud,Ahmad
Danbal,al-hakim,al-Tirmidzi dan al-nasa’i)
Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas.
Maksudnya, suatu hukum yang ditetapkan berbeda dengan kaidah qiyas, maka hukum
lain tidak boleh diqiyaskan kepada hukum itu, hal ini,Wahbah al-Zuhaili, bisa
terjadi dalam dua hal, yaitu:
1. Hukum yang ditetapkan itu tidak bisa dinalar (ghair ma’qul
al-ma’na), seperti kasus kesaksian Khuzaimah di atas,
2. Hukum itu merupakan hukum pengeculian yang disyariatkan sejak
semula, seperti adanya rukhshah (keringan hukum)bagi musafir dalam
menjama’/meng-qasar shalat atau terbuka puasa untuk menghilangkan kesulitan
atau seperti menentukan pembayaran diyat pembuuh bagi al-aqilah (keluarga
terdekat ‘ashabah pembunuh).
3. Far’u
Para ulama ushul piqh mengemukakan
empat syarat yang harus dipenuhi oleh Far’u, yaitu:
a.
‘Illat-nya sama dengan ‘illat yang ada
pada ashl,baik pada nya maupun pada jenisnya.
b. Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan
qiyas
Pengertian
‘Illat
Secara etimologi ‘illat berarti “nama bagi sesuatu yang
menyebabkannya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya” secara
terminologi, terdapat beberapa depinisi ‘illat. Yaitu sebagai pengenalan bagi
suatu hukum, apabila terdapat suatu ‘illat pada sesuatu, maka hukumpun ada,
karena dari keberadaan ‘illat itulah hukum itu dikenal.menurutnya, ‘illat itu
bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab adanya hukum, dalam arti adanya suatu
‘illat menyebabkan munculnya hukum. Pada dasarnya deinisi yang dikemukan
Al-Ghazali ini tidak berbeda dengan depeisi diatas. Akan tetapi, Al-Ghazali
berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan
harus karena izin allah.
Macam-macam
‘illat
Para ulama ushul piqh mengemukakan pembahagian ‘illat itu dari
berbagai segi, diantaranya adalah dari segi cara mendapatkannya an dari segi
bisa atau tidaknya ‘illat itu diterapkanpda kasus hukum lainnya. Dari segi cara
mendapatkannya, ‘illat itu, menurut ulama ushul piqh ada dua macam, yaitu
al-illah al-manshushah dan al-‘ilah al-mustanbathah. Al-‘illah al-manshuhah
adalah ‘illat yang dikandung lansung oleh nash. Sedangkan al-‘illah
al-mustanbathah adalah ‘illat yang digali oleh mujtahid nash sesuai dengan
kaidah yang ditentukan dan sesuai dengan kaidah bahasa arab.
Syarat-syarat ‘Illat
Para ulama ushul piqh mengemukakan sejumlah syarat ‘illat yang
dapat yang dijadikan sebagai sifat yang menentukan suatu hukum. Diantaranya:
1. ‘Illat itu mengandung motivasi hukum,bukan sekedar tanda-tanda atau
indikasi hukum.
2. ‘illat itu dapat diukur dan
berlaku untuk semua orang.
3. illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap edera manusia,karena
‘illat merupakan pertanda adanya hukum.
Cara
mengatahui ‘illat
Para
ulama ushul piqh menetapkan bahwa ‘illat suatu hukum dapat diketahui:
1.
Melalui
nash, baik ayat-ayat al-qur’an maupun sunnah Rasullah Saw. Adakalnya ‘illat
yang terdapat dalam nash itu bersipat pasti dan adakala ‘illat itu jelas,tetapi
mengandung mengandung kemungkinan yang lain.
2.
Cara
kedua untuk mengatahui ‘illat suatu hukum adalah melalui ijma’ melalui
ijma’diketahui sipat tertentu yang terdapat dalam hukum syara’ yang menjadi
‘illat hukum itu.
3.
Melalui
al-ima’wa al-tanbih yaitu pernyataan sifat dengan hukum dan disebutkan dalam
lapal. Tetapi ada juga ulama ushul piqh yang menyatakan bahwa penyebutan sifat
ini bisa di istinbatkan adapun hukum yang menyertai sifat itu bisa ditetapkan
melalui nash dan bisa pula hukum yang ditetapkan melalui ijtihad.
4.
Melalui
al-sibr wa al-taqsim sibr adalah penelitian dan pengujian yang dilakukan
mujtahid terhadap beberapa sipat yang terdapat dalam suatu hukum.
Adapun taksim adalah upaya nujtahid dalam membatasi ‘illat pada
satu sifat dari beberapa sifat yang dikandung oleh suatu nash .oleh sebab itu
,dengan cara al-sibr wa al-taqsim kemungkinan berbedanya ‘illat suatu hukum
dalam pandangan orang mijtahid yang
melakukannya adalah wajar disebabkan kualitas analisis dan pengujian yang
mereka lakukan.
5. Munasabah yaitu sifat nyata yang terdapat pada suatu hukum,
dapat di ukur dan dapat di nalar, merupakan tujuan yang dikandung hukum itu,
yaitu berupa pencapaian terhadap suatu kemaslahan atau penolakan terhadap
kemudaratan.
6. Cara ke enam dalam mencari ‘illat adalah melalui tanqih al-munat’ah,
yaitu upaya seorang mujtahid dalam menentukan ‘illat dari berbagai sipat yang
di jadikan ‘illat oleh syari’ dalam berbagai hukum
7. Al-Thard , yaitu
penyertaan hukum dengan sipat tampa adanya kerasian antara keduanya
C. Macam
Macam Qiyas
Para
ulama ushul piqh mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi
yaitu.
1. Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’
dibandingkan dengan yang terdapat pada ashl.dari segi ini qiyas dibagi ketiga
bentuk.
a. Qiyas al-aula’wi yaitu
qiyas yang hukumnya pada furu’lebih kuat daripada hukum ashl, karena ‘illat
yang terdapat pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada ashl,misalnya, mengqiyaskan
memukul kepada ucapan “ah”
b. Qiyas al-musa’wi yaitu
hukum pada furu’ sama kualitasnya dengan
hukum yang ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama.
c. Qiyas al-adna yaitu
‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada
ashl.artinya, ikatan ‘illat yang ada pada furu’ sangat lemah dibandingkan
ikatan ‘illat yang ada pada ashl.
2. Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum,qiyas dibagi
kepada dua macam.
a. Qiyas al-jaliy yaitu
qiyas yang ‘illatnya ditetapkan oleh nash tidak menetapkan ‘illatnya, tetapi
dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’
b. Qiyas al-khafyi yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan
dalam nash.
3. Dilihat dari kerasian ‘illat dengan hukum, qiyas terbagi dua
bentuk,
a. Qiyas al-mu’atstsir ,yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara
ashl dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijmak atau qiyas yang ain
sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashl dengan furu’ berpengaruh pada
hukum itu sendiri.
b. Qiyas al-mulaim , yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashlnya
mempunyai hubungan yang serasi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat kita uraikan bahwa qiyas menurut secara bahasa (arab) qiyas berarti ukuran,
mengatahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan suatu dengan orang
lain
yang berarti” saya mengukur baju dengan hasta,” pengertian qiyas secara
terminologi terdapat beberapa depin Para ushul ulama piqh menerapkan bahwa
rukun qiyas itu ada empat, yaitu ashl
(wadah hukum yang di tetapkan melalui nash atau ijma’) far’u (kasus yang
ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh
mujtahid para ashl, dan hukum al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash
atau ijmak), isi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,sekalipun redaksinya
berbeda.
DAFTAR
PUSTAKA
0 comments:
Post a Comment