BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bila mana
tiap-tiap anggota masyarakat menanti peraturan-peraturan yang ada dalam
masyarakat itu. Peraturan-peraturan ini dikeluarkan oleh suatu badan
yang berkuasa dalam masyarakat itu yang disebut pemerintah. Namun
walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih ada saja orang
yang melanggarnya, misalnya dalam hal pencurian yaitu mengambil barang
yang dimiliki orang lain dan yang bertentangan dengan hukum (KUHP Pasal
362). Terhadap orang lain ini sudah tentu dikenakan hukuman yang sesuai
dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum itu. Segala
peraturan-peraturan tentang pelanggaran, kejahatan, dan sebagainya
diatur oleh Hukum pidana dan dimuat dalam satu Kitab Undang-undang yang
disebut KUHP.
Hukum pidana tidak membuat peraturan-peraturan yang baru, melainkan
mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat
kepentingan umum. Hal pembunuhan, pencurian, dan sebagainya antara
orang-orang biasa, semata-mata diurus oleh Pengadilan Pidana. Sedangkan
dalam Hukum Pidana yang bertindak dan yang mengurus perkara dan di muka
Pengadilan Pidana, bukanlah pihak korban sendiri melainkan alat-alat
kekuasaan negara seperti polisi, jaksa, dan hakim.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam teks bahasa Belanda dari KUHP, dapat ditemukan istilah
strafbaar feit. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam
menerjemahkan KUHP dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia,
menerjemahkan istilah strafbaar feit ini sebagai tindak pidana. Dalam
KUHP tidak diberikan defenisi terhadap istilah tindak pidana (strafbaar
feit), karenanya para penulis hukum pidana telah memberikan pendapat
mereka masing-masing untuk menjelaskan tentang arti dari istilah
tersebut. Peninjauan terhadap KUHP dapat dilihat dari luar maupun dari
dalam. Peninjauan dari luar adalah mengenai riwayatnya yang dibahas
yaitu mengenai Undang-undang Pidana dan beberapa ilmu pengetahuan
pembantu dari Hukum Pidana. Sedangkan dari dalam ialah mengenai bentuk
dan isi Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Dalam Hukum Pidana maka yang terpenting ialah buku 1 yang memuat beberapa bab:
1. Bab I, tentang Kekuasaan Berlakunya Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang.
Syarat
mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang ialah sesudah diundangkan
oleh pemerintah (dalam hal ini Menteri Sekretaris Negara) dalam
Lembaran Negara. Berikut penjelasan pasal-pasal mengenai bab 1 dalam
undang-undang:
Pasal 1
1) Tiada
suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam
undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.
2) Jikalau
undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada
tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.
Pasal 2
Ketentuan
pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang dalam
wilayah Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum.
(peristiwa pidana).
Pasal 3
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia, yakni:
1) Salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bisa pada nomor 1 ini, 127 dan 131.
2) Suatu
kejahatan tentang mata uang, uang-uang kertas negeri atau uang kertas
bank atau tentang materi maupun merek yang dikeluarkan atau disuruhkan
oleh Pemerintah Indonesia.
3) Pemalsuan
tentang surat-surat hutang atau sertifikat-sertifikat hutang yang
ditanggung Indonesia, daerah atau sebahagian daerah, talon-talon,
surat-surat hutang sero atau surat-surat bunga hutang yang masuk
surat-surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu maupun
yang dipalsukan demikian itu seakan-akan surat itu benar dan tidak
dipalsukan.
4) Salah
satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444-446 tentang
pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada
kekuasaan bajak laut, dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat
udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang
kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Pasal 5
1) Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia, yakni:
a. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam bab I dan II Buku Kedua, dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
b. Suatu
perbuatan yang dipandang sebagaikejahatan menurut ketentuan pidana
dalam undang-undang Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang
negeri, tempat perbuatan itu dilakukan.
2) Penuntutan
terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada bagian b diatas boleh
juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia
setelah melakukan perbuatan itu.
Pasal 6
Berlakunya
pasal 5 ayat 1 bagian a itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan
hukuman mati untuk perbuatan yang tiada diancam dengan hukuman mati
menurut undang-undang negeri tempat perbuatan itu dilakukan.
Pasal 7
Ketentuan
pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi pegawai Negara
Indonesia yang melakukan di luar Indonesia salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam bab XXVIII Buku Kedua.
Pasal 8
Ketentuan
pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi nakhoda dan
penumpang-penumpang alat pelayar (kapal, perahu) Indonesia, yang ada di
luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di atas alat pelayar,
melakukan salah satu peristiwa pidana, yang diterangkan dalam bab XXIX
Buku Kedua dan bab IX Buku Ketiga, demikian juga dalam undang-undang
umum tentang surat-surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam
“Ordonasi Kapal 1927.”
2. Bab II, tentang Hukuman-Hukuman
Pasal 10
Hukuman-hukuman ialah:
a. Hukuman-hukuman pokok:
a) Hukuman mati,
b) Hukuman penjara,
c) Hukuman kurungan,
d) Hukuman denda.
b. Hukuman-hukuman tambahan:
a) Pencabutan beberapa hak tertentu,
b) Perampasan beberapa barang yang tertentu,
c) Pengumuman keputusan hakim.
Pasal 11
Hukuman
mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan
sebuah jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang
penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.
Pasal 12
a) Hukuman penjara itu lamanya seumur hidup atau untuk sementara.
b) Hukuman penjara sementara itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya 15 tahun berturut-turut (KUHP 97).
c) Hukuman,
penjara sementara boleh dijatuhkan selama-lamanya 20 tahun
berturut-turut, dalam hal kejahatan yang menurut pilihan hakim sendiri
boleh dihukum mati, penjara seumur hidup dan penjara sementara, dan
dalam hal 15 tahun itu dilampaui, sebab hukuman ditambah, karena ada
perhitungan kejahatan atau karena aturan pasal 52 KUHP (57, 104, 106,
107-2, 108-2, 111-2, 124-2, 130-2, 140-2, 187-3, 194-2, 196-3, 198-2,
200-3, 202-2, 204-2, 399, 365, 486).
d) Lamanya hukuman penjara itu sekali-kali tidak boleh lebih dari 20 tahun.
Pasal 14
Orang
yang dihukum penjara wajib melakukan pekerjaan yang diperintahkan
kepadanya, menurut peraturan untuk menjalankan pasal 29. (KUHP 24s).
Pasal 15
1) Orang
yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah
lalu 2 pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling
sedikit 9 bulan dari pada itu. Kalau siterhukum itu harus menjalani
beberapa hukuman penjara berturut-turut maka dalam hal ini sekalian
hukuman itu dianggap sebagai satu hukuman.
2) Pada
waktu dilepaskan itu ditentukan pula lamanya tempo percobaan bagi
siterhukum itu dan diadakan perjanjian yang harus diturutnya selama
tempo percobaan.
3) Tempo
percobaan itu lamanya lebih setahun dari pada sisa hukuman yang
sebenarnya dari siterhukum itu. Tempo percobaan itu tidak dihitung
selama kemerdekaan siterhukum dicabut dengan sah.
Pasal 16
a) Keputusan
perlepasan dengan perjanjian itu diambil oleh Menteri Kehakiman atas
usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus rumah penjara di tempat
adanya siterhukum itu dan setelah mendapat kabar dari Jaksa. Keputusan
itu tidak akan diambil sebelum Dewan Pusat urusan memperbaiki keadilan
orang yang dilepaskan dari penjara, didengar, yang pekerjaannya diatur
oleh Menteri Kehakiman.
b) Keputusan
mencabut perlepasan dengan perjanjian itu, demikian pula keputusan yang
diadakan karena melakukan ketentuan pada pasal 15a ayat ke 5, diambil
oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari Jaksa
di tempat tinggal siterhukum. Keputusan itu tidak akan diambil
sebelumnya Dewan Pusat untuk Reclassering didengar.
c) Selama
ada hak akan mencabut perlepasan dengan perjanjian, maka untuk
kepentingan ketertiban umum, orang yang dilepas dengan perjanjian itu
dapat ditahan, jika ada persangkaan yang patut, bahwa selama waktu
percobaan itu ia pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
perjanjian yang diterangkan dalam surat permisinya atas perintah Jaksa
di tempat tinggal orang itu, sedang Jaksa diwajibkan memberitahukan hal
itu dengan segera kepada Menteri Kehakiman.
d) Kekuatan
penahanan itu selama-lamanya 60 hari. Jika penahanan itu bersambung
dengan penundaan atau dengan pencabutan perlepasan dengan perjanjian,
maka menjalankan hukuman itu dianggap mulai dilakukan kembali pada hari
penahanan (KUHP 15, 17).
Pasal 18
a) Lamanya hukuman kurang serendah-rendahnya 1 hari dan selama-lamanya 1 tahun (KUHP 97).
b) Hukuman
itu boleh dijatuhkan selama-lamanya 1 tahun 4 bulan dalam hal-hal di
mana hukuman ditambah lantaran ada beberapa kejahatan yang dilakukan
berulang-ulang,atau karena hal yang ditentukan pada pasal 52 tempo yang 1
tahun itu dilampaui (KUHP 65, 70, 488).
c) Hukuman itu berkali-kali tidak boleh lebih lama dari 1 tahun 4 bulan.
Pasal 19
1) Orang
yang dihukum kurungan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan
kepadanya, sesuai dengan peraturan untuk menjalankan pasal 29.
2) Kepadanya diwajibkan pekerjaan yang lebih ringan dari pada yang diwajibkan kepada orang yang dihukum penjara.
Pasal 20
a. Dalam
keputusan hakim boleh ditentukan, bahwa jika boleh mengizinkan kepada
orang yang hukuman penjara atau kurang selam-lamanya 1 bulan, untuk ada
dalam kemerdekaan sehabis waktu kerja.
b. Jika
siterhukum yang mendapat kemerdekaan tersebut, tidak datang pada
waktunya di tempat yang ditentukan untuk mengerjakan pekerjaan yang
diperintahkan kepadanya, maka selanjutnya hukuman itu harus dijalankan
sebagaimana biasa, kecuali kalau ia tidak datang itu karena ada
sebabnya, yang tidak bergantung kepada kemauannya.
c. Yang
ditentukan dalam ayat pertama tidak dapat dilakukan, jika pada waktu
melakukan perbuatan itu belum lalu 2 tahun, sejak sitersalah itu habis
menjalani hukuman penjara/kurungan.
Pasal 21
Hukuman
kurungan dijalani di dalam daerah tempat kediaman siterhukum,
waktukeputusan hakimdijalankan atau bila ia tidak bertempat kediaman, di
dalam daerahtempat ia ada pada waktu itu kecuali kalau atas
permohonannya, Menteri Kehakiman mengizinkan akan menjalani hukuman itu
di tempat lain.
Pasal 22
a) Hukuman
kurungan yang harus dijalani oleh seseorang hukuman, yang sedang
menjalani hukuman kemerdekaan dalam sebuah rumah penjara untuk menjalani
hukuman penjara, boleh atas permintaan siterhukum terus dijalani dalam
rumah itu juga, sesudah hukuman kemerdekaan itu habis.
b) Hukuman
kurungan, yang karena itu dijalani dalam rumah penjara yang semata-mata
untuk menjalani hukuman penjara, tidak berubah sifatnya dari sebab itu.
Pasal 23
Orang
hukuman kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan ongkosnya sendiri
menurut peraturan yang akan ditetapkan dalam ordonasi (KUHP 29).
Pasal 24
Orang
hukuman penjara dan orang hukuman kurungan boleh diwahibkan bekerja,
baik di dalam maupun di luar tembok penjara tempat orang hukuman (KUHP
14, 19, 29).
Pasal 25
Kerja
di luar tembok penjara demikian tidak diperintahkan kepada: orang
hukuman seumur hidup, perempuan, dan orang hukuman yang menurut
pemeriksaan dokter nyata tidak kuat badannya untuk pekerjaan itu (KUHP
24).
Pasal 26
Jika
menurut timbangan hakim berhubung dengan keadaan diri dan kedudukan
masyarakat, siterhukum itu ada alasannya, maka ditentukan dengan
keputusan hakim, bahwa orang hukuman itu tidak akan diwajibkan bekerja
di luar tembok penjara tempat orang hukuman.
Pasal 27
Lamanya
hukuman penjara sementara dan hukuman kurungan itu ditentukan dalam
keputusan hakim, dengan menyebut banyaknya hari, minggu, bulan, dan
tahun, tidak menyebut bahagian-bahagian dari itu (KUHP 97).
Pasal 28
Hukuman penjara dan hukuman kurungan boleh dijalani dalam rumah penjara itu juga, asal saja dalam bahagiannya sendiri-sendiri.
3. Bab III, tentang Penghapusan, Pengurungan, dan Penambahan hukuman.
Pasal 44
1) Barang
siapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sedikit berubah
akal tidak boleh dihuku.
2) Jika
nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena
kurang sempurna akalnya, maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia
di rumah sakit gila selama-lamanya 1 tahun untuk diperiksa.
3) Yang ditentukan dalam ayat yang di atas ini, hanya berklaku bagi MA, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Pasal 45
Jika
seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya
ketika umurnya belum 16 tahun, hakim boleh: memerintahkan, supaya
sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, atau
memerintahkan, supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah dengan
tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian
kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489,
490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, 540 dan
perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu 2 tahun sesudah keputusan dahulu
yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu
kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu.
Pasal 46
1) Jika
hakim memerintahkan supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah,
maka ia: baik ditempatkan dalam rumah pendidikan Negeri, supaya di situ,
atau kemudian dengan cara lain, ia mendapat pendidikan dari pihak
pemerintah, baik diserahkan kepada seorang-orang yang ada di Negara
Indonesia atau kepada perserikatan yang mempunyai hak badan hukum yang
ada di Negara Indonesia atau kepada balai derma yang ada di Negara
Indonesia supaya di situ mendapat pendidikan dari mereka, atau kemudian
dengan cara lain dari pemerintah dalam kedua itu selam-lamanya sampai
cukup 18 tahun.
2) Peraturan untuk menjalankan ayat pertama dari pasal ini ditetapkan dengan ordonasi.
Pasal 50
Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan undang-undang, tidak boleh dihukum.
Pasal 51
1) Barang
siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang
diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum.
2) Perintah
jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak, tidak membebaskan
dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaannya
memandang, bahwa perintah itu seakan-akan diberikan oleh kuasa yang
berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai
yang di bawah perintah tadi.
Pasal 52
Jikalau
seorang pegawai negeri melanggar kewajibannya yang istimewa dalam
jabatannya karena melakukan perbuatan yang boleh dihukum, atau pada
waktu melakukan kejahatan yang boleh dihukum memakai kekuasaan,
kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari jabatannya, maka
hukumannya boleh ditambah dengan sepertiganya (KUHP 12, 18, 30, 36,92).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
teks bahasa Belanda dari KUHP, dapat ditemukan istilah strafbaar feit.
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam menerjemahkan KUHP
dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia, menerjemahkan istilah strafbaar
feit ini sebagai tindak pidana. Dalam KUHP tidak diberikan defenisi
terhadap istilah tindak pidana (strafbaar feit), karenanya para penulis
hukum pidana telah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk
menjelaskan tentang arti dari istilah tersebut. Peninjauan terhadap KUHP
dapat dilihat dari luar maupun dari dalam. Peninjauan dari luar adalah
mengenai riwayatnya yang dibahas yaitu mengenai Undang-undang Pidana dan
beberapa ilmu pengetahuan pembantu dari Hukum Pidana. Sedangkan dari
dalam ialah mengenai bentuk dan isi Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang ialah
sesudah diundangkan oleh pemerintah (dalam hal ini Menteri Sekretaris
Negara) dalam Lembaran Negara.
Jika
menurut timbangan hakim berhubung dengan keadaan diri dan kedudukan
masyarakat, siterhukum itu ada alasannya, maka ditentukan dengan
keputusan hakim, bahwa orang hukuman itu tidak akan diwajibkan bekerja
di luar tembok penjara tempat orang hukuman.
Jikalau
seorang pegawai negeri melanggar kewajibannya yang istimewa dalam
jabatannya karena melakukan perbuatan yang boleh dihukum, atau pada
waktu melakukan kejahatan yang boleh dihukum memakai kekuasaan,
kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari jabatannya, maka
hukumannya boleh ditambah dengan sepertiganya (KUHP 12, 18, 30, 36,92).
DAFTAR PUSTAKA
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia Depok: Raja Grafindo Persada, 2013.
Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana Jakarta: Pradnya Paramita, 2007.
Prasetyo, Himpunan Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Hukum Pidana Jakarta: Aksara Baru, 1997.
0 comments:
Post a Comment